Dalam rangka memperingati dikeluarkannya Supersemar, hingga saat ini pada setiap tanggal 11 Maret diperingati sebagai Hari Supersemar atau Hari Surat Perintah Sebelas Maret.
Memasuki era Reformasi, sejarah Gerakan 30 September dan Supersemar mulai ramai diperdebatkan di ruang publik dengan begitu bebas karena saling berkaitan, apalagi setelah diketahui bahwa naskah Supersemar yang disimpan di Arsip Nasional tidaklah otentik. Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) hanya mempunyai salinan dokumen Supersemar, Itupun tidak asli dan ada tiga versi dokumen yakni dari Sekretariat Negara, Pusat Penerangan Angkatan Darat TNI dan Akademi Kebangsaan. Hingga saat ini dokumen Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang asli belum diketahui.
Supersemar sejatinya adalah surat perintah yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno pada tanggal 11 Maret 1966 yang memberikan mandat kepada Letnan Jenderal Soeharto, selaku Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), untuk mengambil segala tindakan yang "dianggap perlu" untuk mengatasi situasi keamanan dan kestabilan pemerintahan yang buruk pada masa pembersihan pasca terjadinya Gerakan 30 September 1965.
Dalam artikel berjudul Supersemar: Sejarah dalam Balutan Kekuasaan, lahirnya Supersemar diawali oleh peristiwa keji yang menewaskan enam orang perwira tinggi dan satu perwira menengah TNI AD. Kekejian ini kemudian disusul oleh banjir darah dalam pembantaian massal yang berlangsung antara media bulan Oktober hingga Desember 1965. Bahkan berdasarkan analisis Robert Cribb, pelenyapan nyawa para pengikut maupun orang yang dituduh sebagai simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) ini mencapai angka terendah 78.000 hingga terbanyak 2.000.000 jiwa.
Setelah mendapatkan mandat dari Soekarno, Soeharto bergerak cepat mengeksekusi Supersemar. Tengah malam tanggal 11 Maret, Soeharto langsung membubarkan dan melarang PKI. Menurut pengakuan Probosutedjo, adik Soeharto dalam buku berjudul Memoar Saya dan Mas Harto, sebenarnya tidak ada kalimat perintah membubarkan PKI dalam Supersemar. "Tetapi Mas Harto memiliki keyakinan bahwa pemulihan keamanan hanya akan terjadi jika PKI dibubarkan".
Pada 14 Maret 1966, Soekarno lantas memanggil seluruh angkatan bersenjata ke Istana dan menumpahkan amarahnya. Soekarno berkata bahwa Supersemar tidak pernah dimaksudkan untuk membubarkan PKI.
Amarah Bung Besar nampaknya tidak membuat Soeharto gentar. Empat hari setelah kejadian tersebut, Soeharto kembali bergerak dan membuahkan penerbitan Keppres Nomor 5 tertanggal 18 Maret 1966 yang isinya melakukan penahanan terhadap 15 orang menteri yang dianggap terkait dengan PKI dan terlibat Gerakan 30 September 1965. Mereka adalah menteri-meneteri loyalis Soekarno. Diantaranya adalah:
- Waperdam Subandrio,
- Waperdam Chaerul Saleh,
- Achadi,
- Setiadi Reksoprodjo,
- Sumardjo,
- Oei Tjoe Tat,
- Letkol Sjafei,
- Mayor Jenderal Achmadi,
- Menteri Irigasi dan Pembangunan Masyarakat Surachman,
- Menteri Bank Sentral Jusuf Muda Dalam,
- Menteri Pertambangan Armunanto,
- Menteri Perburuhan Sutomo Martopradopo,
- Menteri Kehakiman Astrawinata,
- Menteri Sekjen Front Nasional J. Tumanaka,
- Menteri Dalam Negeri Sumarno Sostroatmodjo.
Aksi Soeharto tersebut berbuntut demonstrasi besar-besaran dan membuat Soekarno murka. Para demonstran menduga, sejumlah menteri terindikasi terlibat peristiwa G30S dan dekat dengan PKI. Mereka bahkan meminta menteri-menteri tersebut ditangkap dan diserahkan ke Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad).
Tiga bulan setelahnya, pada 20 Juni - 6 Juli 1966, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) menggelar Sidang Umum. Terjadi dua peristiwa besar dalam momen itu. Pertama, ditolaknya pidato pertanggungjawaban Soekarno berjudul Nawaksara. Lalu, ditetapkannya Supersemar melalui TAP MPRS Nomor IX/MPRS/1966.
Soekarno sempat mengecam aksi Soeharto yang menurutnya menyalahgunakan Supersemar dengan mengeluarkan pidato berjudul Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah atau Jas Merah. Namun, pidato itu nyatanya tak dapat banyak menolongnya.
Setelah peristiwa itu, dalam jangka waktu satu tahun ke depan Kekuasaan Bung Karno perlahan mulai goyang. Puncaknya, pada Sidang Istimewa MPRS tanggal 7-12 Maret 1967 di Jakarta, MPR secara resmi mengangkat Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia yang ke 2. Banyak orang beranggapan bahwa dikeluarkannya Supersemar merupakan fase awal di mana lahirnya pemerintahan Orde Baru.
Recommended reads
-
Mengenal Pesona Suku-Suku di Indonesia Menjelajahi Kekayaan Budaya Nusantara
-
Hellowayang Jendela Digital ke Kekayaan Budaya Nusantara
-
Batik Pesisir Warna-Warni Hasil Persilangan Budaya di Pesisir Jawa dan Madura
-
Sejarah Batik di Indonesia Warisan Budaya yang Kaya dan Inovatif
-
Motif Umum dalam Batik Keraton Simbolisme dan Makna Mendalam