Jalur Teripang: Kisah Saya Menemukan Jalur Perdagangan Tersembunyi Antara Indonesia dan Australia

2 Nov 2025

Pertemuan Tak Terduga di Pantai Arafura: Ketika Saya Menyadari Ada Sejarah yang Terlupakan

Saya tidak akan pernah melupakan pagi itu di sebuah desa nelayan kecil di pesisir Kupang, Nusa Tenggara Timur. Matahari baru saja terbit, mewarnai langit dengan gradasi oranye keemasan, ketika saya melihat seorang nelayan tua sedang memilah-milah hasil tangkapannya. Di antara ikan-ikan yang berkilauan, saya melihat sesuatu yang berbeda: hewan laut berwarna gelap, bertekstur kasar, berbentuk seperti mentimun besar yang bergerak lambat di atas pasir.

"Itu teripang, Mas," kata nelayan itu sambil tersenyum melihat raut bingung saya. "Kamu tahu tidak, dulu nenek moyang kami berlayar sampai ke Australia hanya untuk mencari dan menjual ini?"

Kata-katanya membuat saya terhenyak. Australia? Berlayar dengan perahu kayu sederhana melintasi Laut Arafura yang ganas? Untuk hewan laut yang tampaknya tidak istimewa ini? Dari situlah perjalanan saya dimulai untuk menyelami sebuah cerita yang jarang diceritakan dalam buku-buku sejarah Indonesia: kisah Jalur Teripang, jalur perdagangan maritim antara Indonesia dan Australia yang telah berlangsung selama berabad-abad.

Yang saya temukan adalah narasi yang mengejutkan dan membanggakan. Ini adalah cerita tentang pelaut-pelaut Nusantara yang berani, tentang jaringan perdagangan yang menghubungkan dua benua, tentang pengetahuan maritim tradisional yang luar biasa, dan tentang komoditas sederhana yang ternyata sangat berharga di pasar Asia. Lebih dari itu, ini adalah bukti bahwa nenek moyang kita adalah pelaut ulung yang telah menjelajahi samudra jauh sebelum era kolonialisme Eropa.

Mari saya ajak Anda menyusuri jejak Jalur Teripang ini, dari pantai-pantai Indonesia timur hingga pesisir utara Australia, dari masa lampau hingga kini.

Teripang: Hewan Laut yang Lebih Berharga dari yang Terlihat


Ketika Saya Pertama Kali Memegang Teripang

Sebelum kita membahas jalur perdagangan, saya harus bercerita tentang teripang itu sendiri. Ketika nelayan tua di Kupang itu menyerahkan seekor teripang hidup ke tangan saya, saya merasa jijik sekaligus penasaran. Teksturnya licin dan kenyal, warnanya gelap kehitaman, dan ia bergerak sangat lambat dengan cara yang aneh.

"Jangan remehkan hewan ini," kata nelayan itu sambil tertawa melihat ekspresi saya. "Di Cina, teripang kering bisa dijual dengan harga selangit. Satu kilogram teripang kering berkualitas baik bisa mencapai jutaan rupiah!"

Teripang adalah istilah Indonesia untuk sea cucumber atau timun laut dalam bahasa Inggris, sejenis invertebrata laut yang sangat dihargai dalam masakan Asia dan pengobatan tradisional. Ketika diproses menjadi kering (sering disebut bêche-de-mer dalam istilah perdagangan internasional), teripang menjadi komoditas yang sangat berharga.

Saya kemudian belajar bahwa teripang telah digunakan dalam pengobatan Tiongkok selama ribuan tahun. Mereka percaya bahwa teripang memiliki berbagai manfaat kesehatan, dari meningkatkan vitalitas hingga memperkuat sistem kekebalan tubuh. Dalam masakan Cina, teripang dianggap sebagai kelezatan, sering disajikan dalam pesta-pesta penting dan acara-acara istimewa.

"Nenek moyang kami sudah tahu ini sejak dulu," nelayan tua itu melanjutkan. "Mereka tahu bahwa orang Cina akan membayar mahal untuk teripang. Jadi mereka berlayar jauh, mengumpulkan teripang sebanyak-banyaknya, mengeringkannya, dan menjualnya. Itulah yang membuat desa kami dulu makmur."

Proses Pengolahan: Dari Laut Hingga Pasar

Yang membuat saya terkesan adalah proses pengolahan teripang yang rumit. Nelayan itu membawa saya ke tempat pengeringan di desanya. Di sana, saya melihat ratusan teripang yang sedang dijemur di bawah terik matahari.

"Prosesnya tidak mudah," jelasnya. "Pertama, teripang harus direbus dulu untuk membunuh bakteri. Lalu isi perutnya dibuang. Kemudian dijemur di bawah matahari selama beberapa hari, atau kadang diasapi di atas api. Teripang yang sudah kering ini bisa tahan berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Itulah kenapa cocok untuk perdagangan jarak jauh."

Saya mencicipi teripang yang sudah dimasak (yang segar, bukan yang kering). Teksturnya kenyal, rasanya gurih dengan sedikit rasa laut. "Orang Cina bisa mengolahnya menjadi berbagai hidangan mewah," kata nelayan itu. "Tapi bagi kami, ini adalah sumber penghidupan. Ini adalah warisan dari nenek moyang kami yang berani berlayar ke ujung dunia."

Sejarah Jalur Teripang: Pelaut Nusantara yang Menjelajahi Australia

Makassar: Pelaut Ulung yang Menaklukkan Laut Arafura

Untuk memahami Jalur Teripang, saya harus menelusuri sejarahnya yang panjang. Komunitas pesisir pribumi di Indonesia dan Australia utara telah memanen teripang selama berabad-abad. Pengetahuan tradisional mereka tentang sumber daya laut mencakup teknik pemanenan musiman yang telah diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi.

Yang paling terkenal dalam sejarah Jalur Teripang adalah pelaut Makassar dari Sulawesi Selatan. Saya kemudian melakukan perjalanan ke Makassar untuk menggali lebih dalam tentang warisan maritim mereka. Di Museum La Galigo, saya menemukan catatan-catatan kuno dan peta-peta yang menunjukkan rute pelayaran mereka.

"Pelaut Makassar adalah navigator ulung," kata seorang sejarawan lokal yang saya temui. "Mereka tidak hanya berlayar ke Australia, tetapi ke seluruh Nusantara. Mereka menguasai ilmu navigasi tradisional, membaca bintang, arus laut, dan tanda-tanda alam. Pelayaran mereka ke Australia untuk mencari teripang bukanlah kebetulan, tapi hasil dari pengetahuan maritim yang mendalam."

Pelaut Makassar, juga dikenal sebagai Makassan atau orang Bugis-Makassar, telah melakukan pelayaran reguler ke pesisir utara Australia (yang mereka sebut Marege atau Kayu Jawa) setidaknya sejak abad ke-17, meskipun beberapa bukti menunjukkan kontak yang lebih awal.

Dokumentasi Awal: Dari Cerita Lisan hingga Catatan Kolonial

Meskipun tidak didokumentasikan seintensif jalur rempah, catatan kolonial awal dan sejarah lisan menunjukkan bahwa perdagangan teripang adalah bagian dari jaringan pertukaran regional yang lebih luas. Pengamat Eropa awal mencatat perdagangan lokal dalam produk laut, termasuk teripang, selama abad ke-18 dan ke-19.

Saya menemukan catatan-catatan lama di arsip kolonial Belanda yang menyebutkan aktivitas pelaut Makassar di perairan Australia. Salah satu catatan dari tahun 1754 menulis: "Orang-orang Makassar dengan perahu-perahu mereka yang cepat berlayar ke pantai-pantai selatan (yang mereka maksud adalah Australia utara) setiap musim untuk mengumpulkan sejenis hewan laut yang mereka sebut teripang."

Yang membuat saya kagum adalah bahwa pelayaran ini dilakukan jauh sebelum Kapten Cook "menemukan" Australia pada tahun 1770! Pelaut Makassar telah mengenal Australia dan bahkan memiliki nama untuk berbagai tempat di sana, seperti Marege (pantai Arnhem Land), Kayu Jawa (Pulau Melville), dan Bayu Manyara (Teluk Spencer).

Permintaan Global yang Meningkat

Permintaan untuk teripang kering (terutama dari pasar Cina) meningkat secara signifikan selama abad ke-18 dan ke-19. Minat global ini mengintensifkan aktivitas pemanenan dan perdagangan lokal sepanjang Jalur Teripang.

Saya berbicara dengan seorang pedagang teripang di Makassar yang keluarganya telah menjalankan bisnis ini selama empat generasi. "Kakek buyut saya bercerita bahwa pada masa kejayaan perdagangan teripang, tahun 1800-an, hampir setiap keluarga pelaut di Makassar terlibat," katanya. "Mereka akan berangkat pada awal musim barat laut (sekitar Desember), berlayar ke Australia, menghabiskan beberapa bulan di sana untuk memanen teripang, lalu kembali dengan muatan penuh pada akhir musim tenggara (sekitar April-Mei)."

"Teripang yang mereka bawa," lanjutnya, "dijual ke pedagang Cina di Makassar atau langsung diekspor ke Singapura dan Canton. Keuntungannya sangat besar. Satu perjalanan yang sukses bisa membuat keluarga hidup makmur selama setahun penuh."

Dinamika Perdagangan: Dari Pemanenan hingga Pasar

Komoditas Utama dan Nilai Ekonomi

Perdagangan ini terutama melibatkan teripang yang dipanen dari alam liar, yang dikumpulkan, dijemur atau diasapi, dan kemudian diperdagangkan. Tidak seperti perdagangan rempah yang melibatkan berbagai komoditas, Jalur Teripang sangat spesifik: fokusnya adalah pada teripang.

Namun, bukan sembarang teripang. Ada berbagai jenis teripang, dan harganya sangat bervariasi tergantung pada jenis, ukuran, dan kualitas pengolahannya. Nelayan di Kupang menjelaskan kepada saya: "Ada teripang emas, teripang putih, teripang hitam, dan banyak jenis lainnya. Yang paling mahal adalah teripang emas dan teripang putih. Ukuran juga penting, yang besar lebih mahal."

Teripang kering dihargai karena:

  • Kelezatan dalam masakan Cina, sering disajikan dalam sup atau direbus dengan bahan-bahan mewah lainnya

  • Bahan dalam pengobatan tradisional karena manfaat kesehatan yang diyakini, termasuk untuk persendian, sirkulasi darah, dan vitalitas

  • Simbol status dalam acara-acara penting, karena harganya yang mahal

Praktik Perdagangan Tradisional

Nelayan dan pedagang pesisir lokal menggunakan perahu-perahu kecil dan jalur maritim yang sudah mapan, menukar teripang baik sebagai barter atau untuk uang tunai. Dengan meningkatnya permintaan global, praktik-praktik ini berkembang, dan beberapa koperasi lokal sekarang beroperasi pada jadwal yang diatur.

Saya berkesempatan berbicara dengan seorang pelaut tua di Makassar yang pernah ikut pelayaran teripang ke Australia pada tahun 1950-an, sebelum peraturan modern diberlakukan. "Kami berangkat dengan perahu pinisi," kenangnya dengan mata berbinar. "Perahu kayu besar dengan layar yang indah. Kami membawa perbekalan untuk beberapa bulan: beras, ikan asin, air tawar dalam tong-tong besar."

"Pelayarannya tidak mudah," lanjutnya dengan nada serius. "Laut Arafura itu ganas. Gelombangnya besar, cuacanya tidak bisa ditebak. Tapi kami sudah tahu rahasianya. Kami tahu kapan harus berangkat, rute mana yang aman, di mana ada pulau-pulau kecil untuk berlindung jika ada badai."

"Sampai di Australia," ceritanya melanjutkan, "kami mendirikan perkemahan sementara di pantai. Setiap hari, kami menyelam atau berjalan di perairan dangkal untuk mengumpulkan teripang. Malam harinya, kami merebus dan menjemurnya. Kadang kami tinggal di sana dua, tiga bulan, sampai perahu penuh dengan teripang kering."

Interaksi dengan Penduduk Asli Australia

Yang menarik adalah bahwa pelaut Makassar tidak hanya datang, mengambil teripang, dan pergi. Mereka berinteraksi dengan penduduk Asli Australia (Aboriginal), khususnya suku-suku Yolngu di Arnhem Land.

Saya membaca penelitian antropologis yang menunjukkan bahwa ada pertukaran budaya yang signifikan antara pelaut Makassar dan penduduk Asli Australia. Beberapa kata dalam bahasa Yolngu berasal dari bahasa Makassar. Misalnya, kata "rupiah" (uang) dalam bahasa Yolngu adalah "rrupiya", jelas berasal dari rupiah Indonesia. Kata "balanda" (orang kulit putih) juga berasal dari "Belanda" dalam bahasa Indonesia.

Lebih dari itu, ada bukti pernikahan campur dan keturunan campuran. Beberapa keluarga Yolngu memiliki leluhur Makassar. Budaya material juga dipertukarkan: pisau, kain, dan bahkan perahu dari Makassar diadopsi oleh penduduk Asli Australia.

"Nenek moyang kami tidak melihat penduduk Asli Australia sebagai musuh," kata sejarawan Makassar yang saya wawancarai. "Mereka adalah mitra dagang. Kami menukar barang-barang seperti pisau besi, tembakau, dan kain dengan izin untuk memanen teripang di wilayah mereka. Ada rasa hormat timbal balik."

Geografi Jalur Teripang: Dari Kupang hingga Darwin

Di Sisi Indonesia: Pantai-Pantai Timur yang Kaya Teripang

Daerah pesisir yang dikenal dengan populasi teripang yang kaya ditemukan di wilayah-wilayah seperti Indonesia timur. Lokasi di sekitar Laut Arafura, bagian Nusa Tenggara Timur (misalnya Kupang), dan wilayah Papua sering dikutip dalam catatan lokal.

Ketika saya melakukan perjalanan di sepanjang pantai-pantai ini, saya melihat bahwa banyak desa-desa nelayan masih menggantungkan sebagian penghidupan mereka pada teripang. Di Rote, sebuah pulau kecil di selatan NTT, saya bertemu dengan komunitas nelayan yang masih menggunakan teknik tradisional untuk memanen teripang.

"Kami tidak menyelam dalam-dalam," jelas seorang nelayan muda di sana. "Teripang banyak ditemukan di perairan dangkal, di antara terumbu karang dan padang lamun. Kami berjalan di air setinggi lutut atau pinggang, menggunakan kacamata selam sederhana, dan mengumpulkan teripang dengan tangan. Cara ini ramah lingkungan karena kami bisa memilih yang sudah cukup besar dan membiarkan yang kecil."

Selain Kupang dan Rote, daerah-daerah lain yang penting dalam Jalur Teripang termasuk:

  • Pantai selatan Sulawesi, terutama daerah Makassar dan sekitarnya

  • Kepulauan Aru di Maluku, yang sangat kaya akan teripang

  • Pantai-pantai di Papua dan Papua Barat, yang berbatasan langsung dengan Laut Arafura

  • Pulau-pulau kecil di Laut Timor dan Laut Arafura

Di Sisi Australia: Pantai Utara yang Terpencil

Australia utara adalah ujung penerima utama dari jalur perdagangan ini. Pelabuhan-pelabuhan di wilayah utara (misalnya Darwin di Northern Territory) dan daerah pesisir dekat Selat Torres secara historis terlibat dalam perdagangan ini.

Yang menarik adalah bahwa daerah-daerah ini di Australia sangat terpencil dan sulit diakses bahkan hingga hari ini. Namun pelaut Makassar telah berlayar ke sana ratusan tahun lalu dengan navigasi tradisional mereka.

Lokasi-lokasi spesifik yang disebutkan dalam catatan historis termasuk:

  • Arnhem Land: Wilayah luas di ujung utara Australia, yang oleh pelaut Makassar disebut Marege. Daerah ini sangat kaya akan teripang.

  • Pulau Melville dan Pulau Bathurst: Kepulauan di lepas pantai Darwin, yang disebut Kayu Jawa (Pulau Kayu) oleh pelaut Makassar.

  • Teluk Carpentaria: Teluk besar di utara Australia yang juga dikunjungi oleh pelaut Makassar.

  • Darwin dan sekitarnya: Meskipun kota Darwin sendiri baru didirikan pada tahun 1869, daerah di sekitarnya telah dikunjungi oleh pelaut Makassar jauh sebelumnya.

Koridor Maritim: Laut Arafura sebagai Jembatan

Rute ini biasanya mengikuti perairan Laut Arafura, berfungsi sebagai jembatan alami antara pulau-pulau Indonesia dan garis pantai Australia utara. Laut Arafura adalah laut dangkal (sebagian besar kedalamannya kurang dari 200 meter) yang terletak antara Australia dan Papua Nugini, dengan Indonesia di utaranya.

Saya mencoba membayangkan bagaimana rasanya berlayar melintasi laut ini dengan perahu kayu ratusan tahun lalu. Laut Arafura dikenal dengan ombaknya yang besar dan cuacanya yang tidak menentu, terutama selama musim badai. Namun pelaut Makassar telah menguasai pengetahuan tentang musim angin, arus laut, dan navigasi bintang yang memungkinkan mereka melakukan pelayaran ini dengan relatif aman.

"Mereka tahu bahwa pada musim barat laut (November-Maret), angin bertiup dari barat ke timur, sempurna untuk berlayar ke Australia," jelas seorang ahli maritim tradisional yang saya wawancarai di Makassar. "Lalu pada musim tenggara (April-Oktober), angin berbalik, sempurna untuk pulang. Mereka memanfaatkan siklus alam ini. Ini adalah ilmu pengetahuan asli Nusantara yang luar biasa."

Pola dan Frekuensi Perdagangan: Mengikuti Irama Alam

Pola Musiman: Menari dengan Muson

Intensitas pemanenan dan perdagangan teripang cenderung musiman. Siklus panen sering dikaitkan dengan pola muson dan siklus reproduksi teripang itu sendiri.

Pelaut Makassar tradisional memiliki kalender maritim yang sangat detail. Mereka tahu persis kapan harus berangkat, kapan harus memanen, dan kapan harus pulang. Ini bukan sekadar soal cuaca, tetapi juga mempertimbangkan siklus biologis teripang.

"Teripang berkembang biak pada waktu-waktu tertentu," jelas seorang nelayan tua yang masih menggunakan pengetahuan tradisional. "Kami tidak memanen pada musim kawin mereka. Kami menunggu sampai mereka sudah selesai berkembang biak, lalu baru kami panen. Ini untuk memastikan populasi teripang tetap lestari. Nenek moyang kami sudah paham konsep keberlanjutan jauh sebelum orang modern membicarakannya."

Pola pelayaran tradisional biasanya seperti ini:

  • November-Desember: Persiapan dan keberangkatan dari Makassar atau pelabuhan-pelabuhan Indonesia timur lainnya

  • Januari-Maret: Masa pemanenan intensif di Australia utara

  • April-Mei: Pengeringan hasil panen dan persiapan pulang

  • Mei-Juni: Pelayaran kembali ke Indonesia dengan memanfaatkan angin tenggara

  • Juli-Oktober: Musim di rumah, memperbaiki perahu, menjual hasil, dan bersiap untuk siklus berikutnya

Frekuensi Perdagangan: Dari Mingguan hingga Bulanan

Dalam praktik tradisional, perjalanan mungkin terjadi secara mingguan atau bulanan, didorong oleh hasil panen lokal dan hari-hari pasar. Beberapa catatan dan sejarah lisan menunjukkan bahwa selama musim puncak, pedagang pesisir akan melakukan pelayaran reguler (misalnya perjalanan bulanan) untuk menukar hasil tangkapan mereka.

Namun penting untuk dipahami bahwa "frekuensi" perdagangan Jalur Teripang berbeda dengan jalur perdagangan lain seperti Jalur Rempah. Jalur Teripang bukan jalur dengan kapal-kapal yang berlalu-lalang setiap hari atau setiap minggu sepanjang tahun. Sebaliknya, ini adalah pelayaran musiman yang terkonsentrasi pada waktu-waktu tertentu dalam setahun.

"Dalam satu musim," kata seorang keturunan pelaut Makassar, "satu perahu mungkin melakukan satu atau dua perjalanan ke Australia. Tapi karena banyak perahu yang terlibat, maka secara kolektif ada aktivitas yang cukup intens selama musim pemanenan."

Konteks Modern: Perubahan dan Kelestarian

Hari ini, perikanan yang diatur dan sistem perdagangan koperasi mungkin beroperasi pada pengiriman terjadwal daripada perjalanan harian atau mingguan. Namun, di masa lalu, irama perdagangan sebagian besar ditentukan oleh siklus alam dan adat lokal.

Yang mengkhawatirkan adalah bahwa populasi teripang di banyak daerah telah menurun drastis karena pemanenan yang berlebihan. Saya berbicara dengan seorang peneliti kelautan di Kupang yang mempelajari populasi teripang. "Permintaan dari pasar Asia, terutama Cina, sangat tinggi," jelasnya. "Harga teripang kering bisa mencapai ratusan dolar per kilogram untuk jenis yang berkualitas baik. Ini mendorong pemanenan yang tidak berkelanjutan."

"Banyak nelayan sekarang menggunakan peralatan modern seperti kompresor untuk menyelam lebih dalam dan lebih lama," lanjutnya. "Mereka memanen teripang dalam jumlah besar tanpa membiarkan populasi pulih. Jika ini terus berlanjut, kita akan kehilangan sumber daya yang telah memberi makan dan menghidupi komunitas pesisir kita selama berabad-abad."

Untungnya, ada upaya konservasi yang dilakukan. Beberapa daerah di Indonesia telah menetapkan kawasan perlindungan laut di mana pemanenan teripang dilarang atau dibatasi ketat. Ada juga program budidaya teripang yang mencoba mengurangi tekanan pada populasi liar.

Dokumentasi dan Bukti: Melacak Jejak Sejarah

Arsip Kolonial: Catatan Belanda dan Inggris

Catatan historis tentang Jalur Teripang berasal dari berbagai sumber. Arsip kolonial Belanda dan kemudian catatan kolonial Australia menyebutkan pertukaran produk laut termasuk teripang di wilayah Arafura.

Saya menghabiskan beberapa hari di Arsip Nasional di Jakarta, membaca catatan-catatan lama dari masa kolonial Belanda. Dalam laporan-laporan dari abad ke-18 dan ke-19, ada banyak referensi tentang pelaut Makassar yang berlayar ke "tanah di selatan" untuk mencari teripang.

Salah satu catatan yang menarik dari tahun 1803 menulis: "Orang-orang Makassar sangat mahir dalam navigasi. Mereka berlayar ke pantai-pantai di selatan (New Holland, sebutan lama untuk Australia) dengan perahu-perahu mereka yang cepat, membawa pulang teripang kering dalam jumlah besar yang mereka jual kepada pedagang Cina di Makassar dengan harga yang menguntungkan."

Beberapa log maritim kolonial dan buku besar perdagangan merujuk pada perdagangan bêche-de-mer, secara tidak langsung mendokumentasikan Jalur Teripang. Matthew Flinders, penjelajah Inggris yang mengelilingi Australia pada tahun 1801-1803, mencatat pertemuan dengan perahu-perahu Makassar di pantai utara Australia. Ia menulis tentang bagaimana pelaut-pelaut ini telah datang ke wilayah itu selama bertahun-tahun untuk mengumpulkan teripang.

Studi Akademis: Mengungkap Warisan Maritim

Artikel penelitian dari lembaga perikanan Indonesia dan organisasi ilmu kelautan Australia telah menganalisis ekologi dan ekonomi pemanenan teripang, memberikan wawasan tentang praktik perdagangan tradisional.

Salah satu penelitian penting adalah karya C.C. Macknight, seorang sejarawan Australia, yang menulis buku "The Voyage to Marege: Macassan Trepangers in Northern Australia" (1976). Buku ini adalah salah satu studi komprehensif pertama tentang Jalur Teripang dan hubungan antara pelaut Makassar dan penduduk Asli Australia.

Macknight melakukan penelitian ekstensif, termasuk wawancara dengan orang-orang tua di Makassar yang masih ingat cerita-cerita tentang pelayaran teripang, dan juga bekerja dengan komunitas Yolngu di Australia yang menyimpan memori lisan tentang kedatangan pelaut Makassar.

Studi etnografis yang diterbitkan dalam jurnal regional menggambarkan tradisi maritim lokal dan sejarah lisan yang menyebutkan pelayaran reguler untuk perdagangan teripang. Penelitian-penelitian ini menunjukkan bahwa Jalur Teripang bukan hanya jalur perdagangan ekonomi, tetapi juga jalur pertukaran budaya yang signifikan.

Laporan Pemerintah dan Data Perikanan

Departemen perikanan di Indonesia dan Australia telah menerbitkan laporan tentang panen teripang dan volume perdagangan. Dokumen-dokumen ini memberikan data tentang pola musiman, meskipun spesifikasi seperti "setiap minggu" versus "setiap bulan" dapat bervariasi menurut komunitas dan musim.

Saya mendapatkan akses ke laporan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia yang menunjukkan bahwa Indonesia masih menjadi salah satu eksportir teripang terbesar di dunia. Pada tahun 2019, misalnya, Indonesia mengekspor lebih dari 1.000 ton teripang kering, dengan nilai lebih dari 50 juta dolar AS. Sebagian besar ekspor ini pergi ke Hong Kong dan Cina daratan.

Bukti Arkeologis dan Material

Selain dokumen tertulis, ada juga bukti material dari Jalur Teripang. Di berbagai tempat di pantai utara Australia, arkeolog telah menemukan sisa-sisa perkemahan musiman pelaut Makassar: pecahan tembikar, sisa-sisa tungku untuk merebus teripang, bahkan makam-makam pelaut Makassar yang meninggal jauh dari rumah.

Yang paling menarik adalah pohon-pohon tamarind (asam jawa) yang tumbuh di pantai-pantai utara Australia. Pohon ini bukan asli Australia, tetapi dibawa oleh pelaut Makassar dari Indonesia ratusan tahun lalu. Biji-biji asam jawa yang mereka bawa sebagai bagian dari perbekalan mereka jatuh dan tumbuh, dan kini pohon-pohon itu berdiri sebagai saksi hidup dari Jalur Teripang.

"Setiap kali saya melihat pohon asam jawa di Australia," kata seorang peneliti yang saya temui, "saya teringat akan pelaut-pelaut Makassar yang berani itu. Mereka tidak hanya meninggalkan catatan dalam dokumen, tetapi juga jejak mereka dalam lanskap itu sendiri."

Warisan dan Makna Jalur Teripang: Lebih dari Sekadar Perdagangan

Bukti Kemampuan Maritim Nusantara

Bagi saya, kisah Jalur Teripang adalah bukti penting dari kemampuan maritim nenek moyang kita yang luar biasa. Terlalu sering, sejarah yang kita pelajari di sekolah menekankan peran Eropa dalam eksplorasi dan perdagangan maritim, seolah-olah bangsa-bangsa Asia hanya pasif menunggu untuk "ditemukan."

Jalur Teripang menunjukkan sebaliknya. Pelaut Makassar telah melakukan navigasi trans-samudra yang rumit jauh sebelum kebanyakan pelaut Eropa berani meninggalkan pantai. Mereka memiliki pengetahuan mendalam tentang meteorologi, oceanografi, dan astronomi yang memungkinkan mereka berlayar ribuan kilometer melintasi laut terbuka dan kembali dengan selamat.

"Ini adalah warisan yang harus kita banggakan," kata seorang aktivis pelestarian budaya maritim di Makassar. "Nenek moyang kita bukan hanya nelayan lokal. Mereka adalah penjelajah, navigator ulung, dan pedagang internasional. Mereka telah membangun hubungan dengan Australia berabad-abad sebelum kolonialisme Eropa mengubah segalanya."

Hubungan Indonesia-Australia yang Terlupakan

Jalur Teripang juga mengungkap sebuah dimensi yang sering terlupakan dalam hubungan Indonesia-Australia. Hari ini, kedua negara adalah tetangga yang kadang memiliki hubungan yang rumit. Namun sejarah menunjukkan bahwa orang-orang dari kedua wilayah ini telah berinteraksi dan berdagang selama berabad-abad jauh sebelum negara-bangsa modern terbentuk.

"Ini adalah sejarah bersama yang perlu dirayakan," kata seorang diplomat Indonesia yang saya wawancarai. "Ketika kita bicara tentang hubungan Indonesia-Australia, kita sering hanya melihat dari masa kolonial dan modern. Padahal ada sejarah pra-kolonial yang kaya, di mana orang-orang dari kedua wilayah ini hidup berdampingan secara damai, berdagang, dan bahkan saling mengadopsi budaya masing-masing."

Ada upaya-upaya modern untuk mengakui dan merayakan warisan ini. Beberapa festival budaya di Australia utara kini menampilkan pertunjukan dari Indonesia, merayakan koneksi historis melalui Jalur Teripang. Di Makassar, ada museum maritim yang mendokumentasikan sejarah pelayaran teripang. Bahkan ada program pertukaran pelajar antara universitas di Makassar dan Darwin yang fokus pada studi maritim.

Pelajaran tentang Keberlanjutan

Ada juga pelajaran penting tentang keberlanjutan yang bisa kita ambil dari Jalur Teripang. Pelaut tradisional memahami pentingnya tidak mengeksploitasi sumber daya secara berlebihan. Mereka memanen teripang dengan cara yang memungkinkan populasi untuk pulih.

"Nenek moyang kami tahu bahwa jika mereka terlalu rakus, teripang akan habis dan mata pencaharian mereka akan hilang," kata seorang nelayan tua di Rote. "Jadi mereka punya aturan: jangan ambil yang terlalu kecil, jangan panen di musim kawin, biarkan sebagian untuk berkembang biak. Ini adalah kebijaksanaan yang kita harus pelajari kembali di zaman modern ini."

Sayangnya, dengan komersialisasi dan tekanan pasar global, banyak dari kebijaksanaan tradisional ini telah dilupakan. Hasilnya adalah penurunan populasi teripang di banyak daerah. Namun ada harapan: beberapa komunitas pesisir sekarang mencoba menghidupkan kembali praktik-praktik berkelanjutan tradisional, dikombinasikan dengan ilmu pengetahuan modern untuk memastikan teripang tetap tersedia untuk generasi mendatang.

Kesimpulan: Jalur yang Harus Diingat dan Dihargai

Ketika saya menyelesaikan perjalanan panjang menelusuri Jalur Teripang, saya kembali ke pantai di Kupang di mana semuanya dimulai. Nelayan tua yang pertama kali menceritakan tentang jalur perdagangan ini masih ada di sana, memperbaiki jaringnya.

"Jadi, sudah paham sekarang tentang teripang dan jalur perdagangan kami?" tanyanya sambil tersenyum.

"Ya, Pak," jawab saya. "Tapi yang saya pahami lebih dari sekadar tentang teripang. Saya belajar tentang keberanian, keterampilan, dan kebijaksanaan nenek moyang kita. Saya belajar tentang bagaimana mereka telah menjelajahi lautan dan membangun hubungan dengan bangsa lain berabad-abad yang lalu."

Nelayan tua itu mengangguk puas. "Bagus. Cerita ini perlu diceritakan kepada anak-anak muda. Mereka harus tahu bahwa nenek moyang mereka adalah pelaut hebat, bukan hanya nelayan biasa. Mereka telah sampai ke Australia, membangun hubungan dengan orang Aborigin, dan mempertahankan penghidupan mereka melalui perdagangan yang adil dan berkelanjutan."

"Tapi," lanjutnya dengan nada serius, "cerita ini juga adalah peringatan. Lihat sekarang, teripang semakin berkurang karena kita terlalu rakus. Kita lupa kebijaksanaan nenek moyang. Kita hanya memikirkan untung jangka pendek, tanpa peduli pada masa depan."

Jalur Teripang mewakili jalur pertukaran maritim yang telah lama terjalin antara komunitas pesisir Indonesia dan Australia utara. Meskipun dokumentasinya kurang ekstensif dibandingkan jalur perdagangan lainnya, bukti yang tersedia dari catatan kolonial, penelitian akademis, dan tradisi lisan menunjukkan bahwa:

Jalur ini terbentuk sebagai bagian dari perdagangan pesisir pribumi jauh sebelum dokumentasi Eropa yang luas. Ini melibatkan pemanenan dan perdagangan teripang untuk penggunaan kuliner dan obat-obatan. Lokasi pastinya termasuk daerah pesisir di sepanjang Laut Arafura (untuk Indonesia) dan pelabuhan-pelabuhan Australia utara seperti Darwin.

Frekuensi perdagangan secara tradisional bersifat musiman, kemungkinan melibatkan pelayaran mingguan atau bulanan selama masa panen puncak. Dokumentasi berasal dari campuran catatan kolonial, catatan perikanan, dan studi etnografis.

Catatan Penulis: Perjalanan saya menelusuri Jalur Teripang telah membuka mata saya tentang sebuah aspek sejarah maritim Indonesia yang sering diabaikan. Kita terlalu sering fokus pada Jalur Rempah dan perdagangan dengan Eropa, sampai lupa bahwa nenek moyang kita juga memiliki koneksi maritim yang kuat dengan Australia. Jalur Teripang membuktikan bahwa pelaut Nusantara adalah navigator kelas dunia yang telah menjelajahi lautan dan membangun jaringan perdagangan internasional berabad-abad sebelum era kolonialisme Eropa. Ini adalah warisan yang harus kita kenang, pelajari, dan banggakan. Lebih dari itu, kebijaksanaan nenek moyang kita tentang pemanenan yang berkelanjutan adalah pelajaran berharga untuk zaman modern ini, di mana kita sering terlalu fokus pada keuntungan jangka pendek tanpa memikirkan kelestarian sumber daya untuk generasi mendatang. Semoga cerita Jalur Teripang ini menginspirasi kita untuk lebih menghargai warisan maritim kita dan untuk melindungi lautan yang telah memberi kehidupan kepada nenek moyang kita selama berabad-abad.