Rukun Keluarga dalam Rumah Adat Siwaluh Jabu
4 Nov 2025

Dihuni Oleh Delapan Keluarga
Rumah adat merupakan arsitektur warisan sejarah-budaya yang otentik dan sarat akan filosofi, contohnya seperti Rumah Adat Suku Karo yang disebut sebagai Siwaluh Jabu.
Dalam bahasa Karo, Waluh artinya delapan dan Jabu artinya rumah, sehingga jika diartikan secara harfiah berarti rumah yang memiliki delapan ruangan dan juga dihuni oleh delapan keluarga.
Rumah adat Karo didirikan berdasarkan arah kenjahe (hilir) dan kenjulu (hulu) aliran air pada suatu kampung, sehingga mejadikan Siwaluh Jabu memiliki dua pintu utama, atau dua muka (fasad).
Material bangunannya berbahan dasar kayu, bambu dan juga Ijuk. Kayu dipergunakan sebagai pondasi dan inti bangunan, bambu untuk membuat kerangka atap dan juga Ture (semacam teras), sedangkan Ijuk digunakan sebagai atap karena dapat membuat sejuk ruangan ketika siang hari namun tidak tetap hangat ketika malam datang, dan juga cukup kuat menahan air saat hujan deras.
Proses pembangunan Siwaluh Jabu memakan waktu yang cukup lama, rata-rata proses pembangunannya memakan waktu dua tahun. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya karena arsitekturnya yang rumit serta banyaknya upacara yang harus dilakukan saat membangun sehingga membutuhkan biaya yang cukup bayak.
Tahapan Membuat Rumah Adat Siwaluh Jabu
Sama seperti rumah adat di beberapa daerah di Indonesia, Siwaluh Jabu tidak menggunakan paku untuk mengaitkan kayu yang satu dengan yang lainnya. Kayu-kayu pada Siwaluh Jabu dibuat saling mengunci dengan cara direkatkan/diikat menggunakan tali ijuk. Dalam tahap pembuatannya, ada beberapa ketentuan khusus yang harus dilaksanakan secara berurutan, yaitu:
Tahap pertama, Padi-padiken Tapak Rumah: keluarga mencari letak dan menetukan arah yang baik untuk rumah yang ingin dibangun dengan dibantu oleh seorang dukun.
Tahapan, Ngempak: Menentukan tanggal yang baik untuk mencari kayu di hutan dengan cara melihat posisi jatuhnya kayu saat ditebang, dibantu oleh dukun sebagai penentu baik atau tidak.
Tahapan ketiga, Ngerintak Kayu: Permohonan kepada warga untuk membantu membawa kayu-kayu yang sudah ditebang dari hutan dengan cara membagikan sirih kepada warga desa. Setelah kayu-kayu dibawa ke tempat yang telah ditentukan, keluarga mengadakan acara makan bersama.
Tahapan keempat, Pebelit-belitken: Para pekerja yang akan membangun Siwaluh Jabu akan dikumpulkan di tempat keluarga pemilik rumah untuk membicarakan tentang lama pekerjaan dan upah yang akan dibayarkan.
Tahapan kelima, Mahat: Pembangunan bangunan dimulai di tahap ini. Kayu-kayu yang sudah dibawa mulai dipahat dan dipotong sesuai dengan peruntukannya.
Tahapan keenam, Ngampeken Tekang: Setelah fondasi berhasil didirikan, keluarga dan warga desa gotong-royong untuk membantu proses pemasangan balok kayu di atas fondasi.
Tahapan ketujuh, Ngampeken Ayo: memasang anyaman bambu pada bagian atap Siwaluh Jabu.
Terakhir, Pemasangan Tanduk Kerbau di puncak atap Siwaluh Jabu pada malam hari dengan menggunakan tali ijuk yang dipercaya oleh masyarakat Karo sebagai media penolak bala/malapetaka.
Dihuni Oleh Beragam Jabu

Dalam pengertian masyarakat Karo, keluarga diartikan sebagai Jabu yang berarti satu rumah tangga. Setiap bagian dalam rumah adat Siwaluh Jabu memiliki pembagian tata ruangnya. Secara umum, rumah Siwaluh Jabu terdiri dari satu ruangan besar terbuka berupa ruang-ruang dibatasi oleh papan kayu yang terletak berseberangan dan hanya memiliki 4 dapur.
Ruang dalam rumah Siwaluh dibatasi oleh pembatas tak kasat mata, yaitu adat-istiadat yang kuat. Dengan demikian, ruang pada Siwaluh Jabu memiliki nama dan aturan siapa saja yang harus menempati ruang tersebut berdasarkan ketentuan adat Karo.
Setiap ruangan pada Siwaluh Jabu dihuni oleh beragam Jabu yang masing-masing mengemban tugasnya berdasarkan budaya turun-temurun, para Jabu tersebut diantaranya adalah:
Jabu Bena Kayu, Merupakan tempat bagi keluarga simanteki Kuta/ Bangsa Taneh (keluarga yang pertama mendirikan Kuta). Jabu Bena Kayu juga disebut Jabu Raja, posisinya sebagai pimpinan seluruh anggota Jabu dalam sebuah Rumah Adat, berperan sebagai pengambil keputusan dan penanggung jawab (baik internal maupun eksternal) untuk segala permasalahan dan pelaksanaan adat menyangkut kepentingan rumah dan seisi penghuni rumah.
Jabu Ujung Kayu, Merupakan tempat bagi Anak Beru (pihak perempuan/saudari) dari Jabu Bena Kayu. Jabu ujung Kayu berperan untuk membantu Jabu Bena Kayu dalam menjaga keharmonisan seisi rumah dan mewakili Jabu Bena Kayu dalam menyampaikan perkataan atau nasehat-nasehatnya kepada setiap penghuni rumah. Dengan kata lain Jabu ujung Kayu adalah pembantu utama dari Jabu Bena Kayu baik di dalam urusan dalam rumah maupun di dalam lingkup adat.
Jabu Lepar Bena Kayu, Merupakan tempat bagi pihak saudara dari Jabu Bena Kayu. Jabu Lepar Bena Kayu disebut juga Jabu Sungkun-Sungkun Berita (Tempat bertanya Kabar/berita). Berperan untuk mengawasi keadaan rumah dan keadaan Kuta (kampung) kemudian memberi kabar kepada Jabu Bena Kayu. Jika ada permasalahan di dalam rumah atau di Kuta seperti terjadi pencurian atau akan terjadi perang, maka Jabu Lepar Bena Kayu harus menyelidikinya terlebih dahulu kemudian mengabarkannya kepada Jabu Bena Kayu.
Jabu Lepar Ujung Kayu, Merupakan tempat bagi pihak Kalimbubu (Pihak dari Klan ibu) dari Jabu Bena Kayu. Penghuni Jabu ini sangat dihormati dan disegani karena kedudukannya sebagai Kalimbubu. Kalimbubu dalam masyarakat karo merupakan derajat tertinggi dalam struktur adat. Jabu Lepar Ujung Kayu disebut juga sebagai Jabu Simangan Minem (pihak yang makan dan minum). Jika Jabu Bena Kayu mengadakan pesta adat maka Jabu Lepar Ujung Kayu akan menduduki posisi yang terhormat, dia tidak ikut bekerja dan hanya hadir untuk makan dan minum.
Jabu Sedapuren Bena Kayu, Merupakan tempat bagi anak beru menteri dari Jabu Bena Kayu. Jabu Sedapuren Bena Kayu juga disebut Jabu Peninggel-ninggel (Pihak yang mendengarkan). Perannya adalah untuk mendengarkan segala pembicaraan di dalam suatu Runggu (musyawarah) para anggota Rumah Adat. Selain sebagai pihak pendengar, Jabu Sedapuren Bena Kayu juga berperan sebagai saksi untuk berbagai kepentingan setiap anggota Rumah Adat, baik di lingkup rumah maupun di lingkup Kuta.
Jabu Sedapuren Lepar Kayu, Merupakan tempat anak atau saudara dari dari penghuni Jabu Bena Kayu. Jabu ini disebut juga sebagai Jabu Arinteneng (yang memberi ketenangan). Posisinya diharapkan dapat menjadi penengah setiap permasalahan, memberikan ketenangan dan ketentraman bagi seluruh Jabu di Rumah Adat. Jabu arinteneng sering juga ditempati oleh Penggual atau Penarune (pemain musik tradisional, yang terkadang menghibur seisi rumah dengan alunan musiknya yang menentramkan.
Jabu Sedapuren Lepar Bena Kayu, Merupakan tempat bagi anak atau saudara penghuni Jabu Ujung Kayu. Jabu Sedapuren Lepar Bena Kayu juga disebut Jabu Singkapuri Belo (penyuguh sirih). Jabu Sedapuren Lepar Bena Kayu berperan dalam membantu Jabu Bena Kayu dalam menerima dan menjamu tamunya. Jabu Singkapuri Belo secara umum berperan sebagai penerima tamu keluarga di dalam sebuah Rumah Adat dan bertugas menyuguhkan sirih bagi setiap tamu keluarga yang menghuni Rumah Adat.
Jabu Sedapuren Lepar Ujung Kayu, Merupakan kedudukan bagi Guru (dukun/ tabib). Jabu Sedapuren Lepar Ujung Kayu juga disebut Jabu Bicara guru (yang mampu mengobati). Jabu Sedapuren Lepar Ujung Kayu berperan sebagai penasehat spiritual bagi penghuni Jabu Bena Kayu, mengumpulkan ramuan-ramuan dari alam untuk pembuatan obat-obatan bagi seisi rumah, menilik hari baik dan buruk, menyiapkan pagar (tolak bala) bagi seisi rumah, selain itu dia juga berperan dalam pelaksanaan upacara terhadap leluhur (kiniteken pemena) dan upacara-upacara yang menyangkut dengan kepercayaan pada masyarakat karo jaman dahulu. Jadi Jabu Sedapuren Lepar Ujung Kayu atau Jabu Bicara Guru berperan dalam hal pengobatan dan hal-hal yang berhubungan dengan kepercayaan masyarakat Karo pada jaman dahulu.