Perjalanan Saya ke Nusa Tenggara: Menemukan Keajaiban 20 Suku yang Tersembunyi di Timur Indonesia

2 Nov 2025

Ketika Saya Menyadari Bahwa Nusa Tenggara Bukan Sekadar Pantai dan Gunung

Pesawat kecil itu mendarat dengan agak kasar di landasan Bandara Komodo, Labuan Bajo. Saya baru saja meninggalkan hiruk-pikuk Bali, dan sekarang berada di dunia yang sama sekali berbeda. Dari jendela, saya melihat bukit-bukit kering berwarna cokelat keemasan, sangat kontras dengan Bali yang hijau subur. "Selamat datang di Nusa Tenggara Timur," kata pilot dengan aksen yang asing di telinga saya.

Saya tidak menyadari pada saat itu bahwa perjalanan ini akan mengubah pemahaman saya tentang Indonesia selamanya. Saya pikir saya sudah cukup tahu tentang negara saya sendiri. Saya sudah ke Jawa, Sumatra, Bali, bahkan Papua. Tapi Nusa Tenggara? Wilayah yang terdiri dari dua provinsi, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT), ini masih menjadi misteri bagi saya, seperti bagi kebanyakan orang Indonesia.

Yang saya temukan di sana melampaui semua ekspektasi. Ini bukan hanya tentang Komodo atau Lombok yang indah. Ini tentang mosaik budaya yang luar biasa kompleks, tentang puluhan suku dengan tradisi unik mereka sendiri, tentang sejarah yang berbeda dari narasi Indonesia pada umumnya, dan tentang perjuangan untuk mempertahankan identitas di era modern.

Dalam beberapa minggu berikutnya, saya akan melakukan perjalanan dari Lombok di barat hingga Timor di timur, dari Sumbawa hingga Flores, dari pantai-pantai yang berkilauan hingga pedalaman gunung yang terpencil. Saya akan bertemu dengan suku Sasak, Bima, Manggarai, Ngada, Atoni, dan banyak lagi. Saya akan menyaksikan festival-festival yang tidak ada bandingannya di Indonesia, mendengarkan bahasa-bahasa yang tidak saya mengerti, dan memahami bahwa "Indonesia" adalah konsep yang jauh lebih kompleks daripada yang pernah saya bayangkan.

Mari saya ajak Anda dalam perjalanan ini, perjalanan untuk memahami suku-suku asli Nusa Tenggara, warisan mereka yang kaya, dan tantangan yang mereka hadapi di dunia modern.

Geografi Etnis: Peta Suku-Suku Nusa Tenggara

Nusa Tenggara Barat: Tiga Suku Besar, Tiga Karakter Berbeda

Perjalanan saya dimulai di Lombok. Ketika saya mendarat di Bandara Internasional Lombok, saya langsung disambut dengan ramah oleh seorang sopir taksi lokal. "Bapak dari mana? Mau ke mana?" tanyanya dalam bahasa Indonesia dengan aksen yang khas. Ketika saya bertanya tentang sukunya, dia menjawab dengan bangga, "Saya Sasak, Pak. Orang asli Lombok."

Provinsi Nusa Tenggara Barat terdiri dari pulau Lombok dan Sumbawa, dan merupakan rumah bagi tiga kelompok etnis pribumi utama. Di Lombok, kelompok dominan adalah suku Sasak, yang membentuk mayoritas populasi pulau. Lebih dari setengah penduduk NTB adalah orang Sasak, yang terkonsentrasi di pulau Lombok.

Saya menghabiskan beberapa hari menjelajahi Lombok, dari pantai-pantai selatan yang terkenal hingga desa-desa tradisional di pedalaman. Di desa Sade, sebuah desa tradisional Sasak, saya bertemu dengan seorang tetua bernama Amaq Saleh. Rumahnya berbentuk unik, dengan atap jerami yang menjulang seperti topi kerucut terbalik.

"Ini rumah lumbung tradisional Sasak," jelasnya. "Nenek moyang kami membangun rumah seperti ini sudah ratusan tahun. Bentuknya khusus untuk menyimpan padi dan melindungi dari kelembaban. Kami orang Sasak sangat bangga dengan budaya kami. Bahasa kami, tarian kami, musik kami, semua unik."

Dari Lombok, saya berlayar ke Pulau Sumbawa. Sumbawa adalah pulau yang lebih besar tapi kurang dikunjungi wisatawan. Di sini, populasi asli terbagi antara suku Samawa (atau Sumbawa) di barat dan suku Mbojo (atau Bima) di timur. Ketiga kelompok ini, Sasak, Samawa, dan Bima, adalah inti dari "suku asli" NTB, masing-masing terkonsentrasi di wilayah mereka sendiri.

Di kota Sumbawa Besar, saya bertemu dengan seorang guru sejarah lokal bernama Pak Hamzah. "Orang Sumbawa dan orang Bima itu berbeda, Mas," jelasnya. "Bahasa kami berbeda, adat kami berbeda. Di Sumbawa Besar ini mayoritas Samawa. Kalau mau ke wilayah Bima, harus ke timur, ke Bima atau Dompu. Di sana orang Mbojo."

Yang menarik adalah bahwa meskipun Sumbawa dan Bima berada di pulau yang sama, ada garis demarkasi budaya yang jelas. "Dulu kami punya kerajaan sendiri-sendiri," kata Pak Hamzah. "Kesultanan Sumbawa di barat, Kesultanan Bima di timur. Bahkan setelah Indonesia merdeka, identitas kami masih kuat."

Selain kelompok pribumi, NTB juga memiliki komunitas migran (Bali, Jawa, Bugis, dll.), terutama di daerah perkotaan dan pesisir, karena migrasi historis dan perdagangan. Di Mataram, ibu kota NTB, saya melihat campuran etnis yang hidup berdampingan: toko-toko dimiliki oleh orang Tionghoa, warung makan dijalankan oleh orang Jawa, dan pasar tradisional didominasi oleh orang Sasak.

Nusa Tenggara Timur: Labirin Etnis yang Menakjubkan

Jika NTB relatif sederhana dengan tiga suku besar, NTT adalah cerita yang sama sekali berbeda. Ketika saya tiba di Kupang, ibu kota NTT, saya segera menyadari bahwa saya telah memasuki dunia yang jauh lebih kompleks.

NTT jauh lebih beragam secara etnis, mencakup puluhan kelompok pribumi yang berbeda tersebar di banyak pulau. Provinsi ini mencakup pulau-pulau besar seperti Flores, Sumba, dan Timor barat, serta pulau-pulau kecil seperti Rote, Sabu (Sawu), Alor, Pantar, Adonara, Lembata (Lomblen), Solor, dan lain-lain.

Berbeda dengan NTB, tidak ada kelompok etnis tunggal yang mendominasi seluruh provinsi. Sebaliknya, setiap pulau atau bahkan setiap kabupaten memiliki identitas etnis sendiri. Ini membuat kepala saya pusing mencoba memahami semuanya!

Di Kupang, saya bertemu dengan seorang antropolog lokal, Dr. Maria, yang telah menghabiskan karirnya mempelajari keragaman etnis NTT. "Anda tahu," katanya sambil menyeruput kopi jagung khas NTT, "ada setidaknya 15 hingga 20 kelompok etnolinguistik utama di NTT. Dan itu hanya yang utama! Jika kita hitung sub-kelompok dan dialek, mungkin lebih dari 50."

Dia menunjukkan peta NTT yang penuh dengan label nama-nama suku. "Lihat, di Timor Barat sini, mayoritas adalah suku Atoni atau Dawan. Mereka menghuni dataran dan perbukitan pedalaman Timor. Lalu ada suku Tetum atau Belu di dekat perbatasan dengan Timor Leste."

Jarinya bergerak ke Flores. "Di Flores, lebih kompleks lagi. Di barat ada Manggarai, di tengah ada Ngada dan Ende-Lio, di timur ada komunitas Lio-Sikka atau Lamaholot. Setiap kelompok punya bahasa sendiri, adat sendiri."

"Pulau Sumba," lanjutnya, "relatif lebih unified dengan identitas 'Sumba', tapi bahkan di sana ada sub-kelompok di timur dan barat. Pulau-pulau kecil seperti Rote punya orang Rote, Sabu punya orang Sabu. Kepulauan Alor-Pantar? Luar biasa beragam secara linguistik. Ada bahasa-bahasa Papua di sana, bukan Austronesia!"

Kepala saya benar-benar berputar. "Jadi berapa total populasi suku asli di NTT?" tanya saya.

"Menurut sensus 2010, hampir 3,8 juta orang adalah suku asli," jawab Dr. Maria. "Tapi ini agregat dari puluhan kelompok berbeda. Yang membuat NTT unik adalah fragmentasinya. Anda bisa pergi 50 kilometer dan menemukan suku yang berbeda total, dengan bahasa yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan suku sebelumnya."

Dalam perjalanan saya selanjutnya melintasi NTT, saya akan membuktikan sendiri kebenaran kata-katanya.

Variasi Geografis dan Konsentrasi Regional

Kelompok-kelompok ini cenderung terkonsentrasi secara regional. Misalnya, Atoni terutama di pedalaman Timor, Manggarai di Flores barat, Tetum/Belu di sepanjang perbatasan Timor Leste, dan seterusnya, mencerminkan geografi pulau NTT yang terfragmentasi.

Saya mengalami ini secara langsung ketika melakukan perjalanan darat dari Kupang ke Soe, jantung wilayah Atoni. Landscape berubah dari pantai kering ke perbukitan hijau. Dan bahasa yang saya dengar dari orang-orang lokal berubah total.

"Di sini kami Atoni," kata seorang petani yang saya temui di pasar Soe. "Bahasa kami Uab Meto. Orang Kupang di pantai, banyak yang bukan Atoni. Ada Rote, ada Sabu, ada pendatang. Tapi di sini, pegunungan, kami masih murni Atoni."

Variasi geografis yang signifikan (dataran tinggi pegunungan vs daerah pesisir, zona kering vs subur) lebih lanjut berkontribusi pada perbedaan budaya bahkan dalam pulau yang sama. Saya melihat ini di Flores, di mana orang Manggarai di dataran tinggi barat hidup dengan cara yang sangat berbeda dari orang Lamaholot di pesisir timur.

Akar Sejarah: 4.000 Tahun Migrasi dan Pencampuran

Asal-Usul Kuno: Ketika Austronesia Bertemu Melanesia

Untuk memahami keragaman Nusa Tenggara, saya perlu menyelami sejarah yang sangat jauh ke belakang. Di Museum Negeri Nusa Tenggara Timur di Kupang, saya bertemu dengan kurator yang menjelaskan asal-usul kuno penduduk wilayah ini.

"Orang-orang pribumi Nusa Tenggara melacak akar mereka ke migrasi Austronesia yang menyapu Asia Tenggara Kepulauan pada zaman prasejarah," jelasnya sambil menunjukkan peta migrasi. "Bukti arkeologi dan linguistik menunjukkan bahwa orang-orang berbahasa Austronesia tiba di Kepulauan Sunda Kecil sekitar 3.000 hingga 4.000 tahun yang lalu."

Studi genetik mendukung timeline ini: pencampuran genetik Asia (Austronesia) di Indonesia timur dimulai sekitar 4.000-3.000 tahun sebelum sekarang, sesuai dengan ekspansi komunitas pertanian pelaut ke pulau-pulau ini.

"Tapi," tambahnya dengan menekankan, "Austronesia ini bukan yang pertama di sini. Mereka bertemu dan kawin campur dengan populasi pemburu-pengumpul yang ada yang berasal dari Melanesia (Papua) yang telah menetap di wilayah ini jauh lebih awal."

Inilah kunci untuk memahami NTT khususnya. Kelompok etnis NTT sering digambarkan sebagai campuran warisan 'Proto-Melayu' (Austronesia) dan Melanesia. Ketika saya berjalan di pasar Kupang, saya melihat bukti visual dari ini: orang-orang dengan berbagai warna kulit, dari cokelat terang hingga sangat gelap, dengan rambut lurus, bergelombang, atau keriting ikal.

"Kami adalah jembatan antara Asia dan Melanesia," kata seorang guru di Soe dengan bangga. "Darah kami campuran. Budaya kami campuran. Itulah yang membuat kami unik."

Pada sekitar 1000 SM, kelompok proto-etnis yang berbeda telah mulai berdiferensiasi di wilayah ini. Misalnya, sejarah lisan Timor Barat menyatakan bahwa orang Atoni (Atoin Meto) telah menetap di dataran tinggi Timor pada waktu itu. Selama dua milenium berikutnya (0-1000 M), gelombang migrasi berturut-turut mengisi berbagai pulau NTT: komunitas yang berbeda secara linguistik muncul di Flores, Sumba, dll., ketika pemukim Austronesia menyebar ke timur dan menjadi relatif terisolasi di setiap pulau.

Kerajaan Awal dan Perdagangan Cendana (1000-1500 M)

Pada milenium kedua Masehi, kerajaan-kerajaan kecil dan kepala suku pribumi mulai terbentuk di Nusa Tenggara, sering dikaitkan dengan kontrol atas sumber daya berharga. Di Timor dan Sumba, penguasa lokal (kadang-kadang diberi gelar raja atau maramba) muncul, dan ada bukti bahwa perdagangan kayu cendana adalah pendorong kunci perkembangan politik.

Hutan cendana Timor yang harum membuatnya legendaris dalam perdagangan Asia. Sebuah catatan abad ke-16 mengatakan bahwa "Tuhan membuat Timor untuk cendana." Pedagang Cina mengunjungi wilayah Timor pada 1100-an M untuk mendapatkan cendana dan rempah-rempah, contoh awal kontak perdagangan jarak jauh.

Di Bima, saya berkunjung ke reruntuhan Istana Sultan yang lama. Seorang pemandu lokal bercerita, "Kesultanan Bima dulunya sangat kuat. Kami menguasai perdagangan cendana dan kuda. Kuda Sumbawa dan Bima terkenal sampai ke Jawa. Sultan kami kaya raya."

Sementara itu, pelaut Jawa dan Melayu juga mulai mengunjungi pulau-pulau Nusa Tenggara. Kerajaan Majapahit Jawa (abad ke-14) mengklaim kekuasaan atas bagian Sunda Kecil. Epos Jawa Negarakertagama (1365) bahkan mencantumkan Lombok ("Lombok Mirah" dan "Sasak") dan beberapa tempat di Sumbawa (Dompu, Sape, Bima, dll.) sebagai tributari.

Ini menunjukkan beberapa pengaruh budaya dari Jawa/Bali mencapai NTB pada akhir abad ke-14. Memang, Hindu telah membuat beberapa jalan masuk, terutama di kalangan bangsawan Sumbawa dan Bima yang kemudian dicatat telah beragama Hindu sebelum Islam.

Namun, kontrol administratif langsung oleh Jawa atas pulau-pulau ini kemungkinan nominal. Pemimpin lokal mempertahankan pemerintahan sehari-hari. Di Flores dan pulau-pulau timur lainnya selama periode ini, kepala suku Austronesia mengatur domain kecil, dan migrasi antar-pulau terus berlanjut dalam skala sederhana.

Islamisasi dan Era Kolonial: Ketika Dunia Datang ke Nusa Tenggara

Islam Datang ke Barat, Katolik ke Timur

Dari tahun 1500-an dan seterusnya, kekuatan global mencapai Nusa Tenggara. Penyebaran Islam di Indonesia menyentuh NTB terlebih dahulu. Pada awal abad ke-17, kerajaan-kerajaan Sumbawa dan Bima di Pulau Sumbawa masuk Islam. Kesultanan Bima memeluk Islam sekitar 1605, di bawah pengaruh dari Makassar.

Ini menandai era baru di Sumbawa, karena Islam menggantikan Hindu di kalangan elit dan akhirnya penduduk, berbaur dengan adat lokal. Di Bima, saya mengunjungi Masjid Sultan yang tua, sebuah bangunan kayu bersejarah yang masih berdiri.

"Ini masjid pertama di Bima," kata imam masjid. "Dibangun oleh sultan pertama yang memeluk Islam. Islam datang dari Makassar, dibawa oleh pedagang dan dai. Sultan melihat bahwa dengan memeluk Islam, dia bisa berdagang lebih baik dengan kerajaan-kerajaan Islam lain. Jadi dia masuk Islam, dan rakyat mengikuti."

Sementara itu, di Lombok, Islam tiba sedikit kemudian dan dengan cara yang unik. Orang Sasak secara bertahap mengadopsi Islam, tetapi dalam bentuk sinkretis yang dikenal sebagai Wetu Telu (campuran Islam dengan elemen pribumi dan Hindu) yang bertahan di daerah pedesaan Lombok.

Di desa Bayan, di kaki Gunung Rinjani, saya bertemu dengan seorang tetua Wetu Telu. "Kami shalat tiga kali sehari, bukan lima," jelasnya. "Kami masih menghormati roh nenek moyang. Kami percaya pada Tuhan, tapi juga pada kekuatan alam. Ini adalah Islam kami, Islam Sasak."

Namun, pada abad ke-18, Islam yang lebih ortodoks (Wetu Lima, lima waktu shalat) menjadi lazim di bawah pengaruh dari kerajaan Islam tetangga dan pedagang. Sekarang, sebagian besar orang Sasak adalah Muslim Wetu Lima, meskipun beberapa desa masih mempertahankan tradisi Wetu Telu.

Portugis, Belanda, dan Pembagian Timor

Portugis adalah orang Eropa pertama yang membuat kontak signifikan dengan NTT. Pada tahun 1566 mereka mendirikan benteng di Solor (di lepas Flores) dan segera setelah itu di Timor, mencari kontrol atas kayu cendana.

Misionaris Portugis (terutama Dominikan) menyebarkan Katolik di bagian Flores dan Timor dari abad ke-16 hingga ke-17. Misalnya, komunitas di Flores timur (Larantuka) dan di pantai utara Timor masuk agama Kristen lebih awal, menciptakan tradisi Katolik yang bertahan hingga hari ini.

Di Larantuka, kota kecil di ujung timur Flores, saya menyaksikan sesuatu yang luar biasa: prosesi Paskah yang menggabungkan ritual Katolik Portugis dengan elemen lokal. Patung-patung santo dibawa keliling kota oleh orang-orang yang mengenakan pakaian tradisional Flores, sementara paduan suara menyanyikan hymne dalam bahasa Latin dan bahasa Lamaholot.

"Kami adalah Katolik sejak 400 tahun yang lalu," kata seorang peserta prosesi. "Portugis datang, membawa agama ini. Tapi kami buat jadi milik kami. Ini bukan Katolik Eropa. Ini Katolik Flores."

Portugis juga kawin campur dengan penduduk lokal, melahirkan kelompok Eurasia yang dikenal sebagai Topasses (atau Portugis Hitam), yang menjadi pedagang dan panglima perang berpengaruh di wilayah itu pada tahun 1600-an.

Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC), sementara itu, memasuki tempat kejadian pada abad ke-17 sebagai saingan Portugis. Belanda mendirikan benteng di Kupang (Timor Barat) pada tahun 1653, bersekutu dengan kepala suku lokal (termasuk mereka dari Rote dan Sabu) yang menerima misionaris Protestan Belanda.

Selama dua abad berikutnya, persaingan Belanda-Portugis membagi Timor: Portugis memegang setengah timur (dan kantong-kantong enclave di barat), sementara Belanda secara bertahap membawa setengah barat (ditambah Rote, Sabu, Flores, dll.) di bawah pengaruh mereka. Perjanjian pada tahun 1859 memformalkan pembagian Timor ini, menetapkan perbatasan yang bertahan hingga hari ini (Timor Barat di NTT di bawah Belanda, Timor Timur di bawah Portugis).

Migrasi Antar-Pulau dan Perang Kolonial

Selama abad ke-18 dan ke-19, migrasi antar-pulau dipercepat di bawah pengaruh baru ini. Ada gerakan penting seperti migrasi Bali ke Lombok: pada akhir 1600-an, Lombok berada di bawah pengaruh kerajaan Bali Karangasem, dan pada pertengahan abad ke-18 penguasa Bali telah menaklukkan Lombok, mendirikan empat kerajaan yang diperintah Bali di pulau itu.

Mereka membawa pemukim dan budaya Bali ke Lombok barat (karenanya minoritas Bali di sana hari ini). Pedagang Makassar dan Bugis dari Sulawesi juga sering mengunjungi pulau-pulau Nusa Tenggara. Beberapa menetap di pantai Sumbawa atau di Sumba, membawa keterampilan pelaut mereka.

Perang kolonial juga menyebabkan pergeseran populasi. Misalnya, ketika Belanda campur tangan di Lombok pada tahun 1894 untuk menggulingkan penguasa Bali (setelah pemberontakan Sasak terhadap penindasan Bali), banyak pejuang Bali dan keluarga mereka tewas atau melarikan diri, dan Lombok berada di bawah pemerintahan Belanda langsung setelah itu.

Di Sumba dan Flores, kontrol Belanda didirikan lebih bertahap melalui perjanjian dengan raja-raja lokal, mencapai puncaknya pada awal abad ke-20. Berabad-abad era kolonial ini melihat aktivitas misionaris membentuk kembali lanskap keagamaan: Protestan Belanda mendapatkan mualaf di Rote, Sabu, dan bagian Timor Barat, sementara misi Katolik Portugis meninggalkan warisan kuat di Flores dan Timor tengah.

Pada tahun 1900, kelompok etnis NTT memiliki pengalaman yang berbeda. Beberapa (seperti Rote dan Sabu) telah terpapar pengaruh Eropa dan Kristen selama beberapa generasi, sementara yang lain (seperti banyak di pedalaman Sumba atau Alor) tetap setia pada tradisi leluhur.

Era Modern: Integrasi ke dalam Indonesia

Setelah Kemerdekaan: Menjadi Bagian dari Republik

Pada abad ke-20, kelompok-kelompok pribumi Nusa Tenggara memasuki fase baru di bawah integrasi nasional Indonesia. Setelah Perang Dunia II dan kemerdekaan Indonesia (1945-1950), bekas wilayah Belanda NTB dan NTT digabungkan ke dalam Indonesia (sementara Timor Timur tetap Portugis sampai 1975).

Periode Indonesia awal melihat penyatuan administratif dan kemudian pemisahan: awalnya semua Sunda Kecil (Bali, NTB, NTT) membentuk satu provinsi, kemudian pada tahun 1958 dibagi menjadi tiga provinsi seperti yang kita kenal.

Pasca-kemerdekaan, ada migrasi internal yang didorong oleh pemerintah (misalnya beberapa program transmigrasi merelokasi keluarga Jawa dan Bali ke daerah NTT yang jarang penduduknya). Namun, peta etnis pribumi sebagian besar tetap utuh. Orang Sasak terus mendominasi populasi Lombok, dan berbagai kelompok etnis NTT mempertahankan wilayah asal mereka.

Di Timor Barat, satu peristiwa migrasi penting adalah masuknya pengungsi Timor Timur (Tetum dan lainnya) sekitar 1975 dan lagi pada 1999, karena konflik dan kemerdekaan akhir Timor Timur. Ini menambah komunitas Belu/Tetum di NTT.

Saya bertemu dengan seorang pengungsi Timor Timur di Atambua, kota perbatasan. "Saya melarikan diri pada 1999," katanya dengan mata berkaca-kaca. "Rumah saya dibakar. Keluarga saya terbunuh. Saya lari ke sini, ke Timor Barat, karena ini masih Indonesia. Sekarang saya sudah 20 tahun di sini. Saya tidak bisa pulang. Timor Timur sekarang negara lain."

Sepanjang era modern, transportasi yang meningkat secara bertahap meningkatkan interaksi antara kelompok Nusa Tenggara dan Indonesia lainnya. Meskipun demikian, banyak komunitas pribumi tetap di daerah pedesaan yang sulit dijangkau, mempertahankan adat kuno.

Pemerintah Indonesia telah mengakui pluralitas budaya dari provinsi-provinsi ini dan, dalam beberapa dekade terakhir, telah mendukung dokumentasi dan perayaan tradisi lokal (sering sebagai bagian dari pariwisata budaya). Hari ini, gambaran demografis menunjukkan perpaduan tradisi dan perubahan: pusat-pusat perkotaan seperti Kupang (ibu kota NTT) atau Mataram (ibu kota NTB) secara etnis bercampur, tetapi desa-desa dan pulau-pulau masih sebagian besar sesuai dengan identitas etnis pribumi.

Kekayaan Budaya: Tradisi yang Tak Ada Duanya

Bau Nyale: Festival Cacing Laut yang Ajaib

Meskipun berabad-abad pengaruh luar, kelompok-kelompok etnis pribumi Nusa Tenggara telah mempertahankan tradisi budaya yang kaya dan khas. Ini terwujud dalam kehidupan upacara, bahasa, seni, dan praktik sosial yang unik dalam konteks Indonesia.

Perjalanan saya bertepatan dengan Festival Bau Nyale di Lombok. Saya berkendara ke Pantai Seger di selatan Lombok pada dini hari, bergabung dengan ribuan orang Sasak yang berkemah di pantai. Suasananya meriah, dengan api unggun, musik tradisional, dan tawa.

"Bau Nyale berarti 'menangkap cacing laut' dalam bahasa Sasak," jelas seorang pemuda bernama Rudi. "Setiap tahun, pada bulan Februari atau Maret, cacing laut yang berwarna-warni muncul di pantai kami. Ini terjadi hanya sekali setahun, pada bulan purnama tertentu. Kami semua datang ke pantai untuk menangkap mereka."

"Tapi ini bukan hanya tentang cacing," tambahnya. "Ini tentang legenda Putri Mandalika. Menurut cerita Sasak, Putri Mandalika adalah putri yang sangat cantik. Banyak pangeran ingin menikahinya, dan untuk menghindari perang antara mereka, dia melemparkan dirinya ke laut dan berubah menjadi cacing laut. Jadi cacing nyale ini adalah reinkarnasi dari Putri Mandalika."

Saat fajar menyingsing, ribuan orang terjun ke air, menggunakan jaring dan tangan kosong untuk menangkap cacing-cacing yang muncul dari pasir. Air laut berkilauan dengan warna-warni cacing. Orang-orang tertawa, berteriak, saling memerciki air. Ini adalah perayaan komunal yang menggabungkan mitos, alam, dan kegembiraan.

Festival ini juga melibatkan pertunjukan betandak (lagu rakyat Sasak), pertukaran hadiah (bejambik), dan pada fajar mengarungi untuk mengambil cacing nyale sebagai ritual budaya dan pesta komunal. Legenda dan perayaan Bau Nyale menggarisbawahi bagaimana identitas budaya Sasak terkait dengan cerita rakyat lokal dan siklus alam pulau.

Pasola: Perang Tombak di Atas Kuda

Jika Bau Nyale menakjubkan, maka Pasola di Sumba benar-benar menghentakkan jiwa saya. Saya terbang ke Sumba khusus untuk menyaksikan festival ini, yang hanya terjadi sekali setahun.

Di sebuah padang rumput terbuka di Sumba Barat, saya menyaksikan sesuatu yang tampak seperti dari masa lalu. Dua kelompok puluhan pejuang Sumba, masing-masing menunggang kuda, berbaris di ujung berlawanan dari lapangan. Mereka mengenakan kain ikat tradisional yang berwarna-warni, dengan ikat kepala dan membawa tombak kayu.

Seorang pendeta Marapu (Rato) memimpin upacara pembukaan, berdoa kepada roh leluhur. Kemudian, dengan teriakan perang, kedua kelompok memacu kuda mereka dan melesat satu sama lain, melemparkan tombak!

Pasola melibatkan dua kelompok puluhan pejuang Sumba di atas kuda saling menyerang dan melemparkan tombak kayu satu sama lain dalam pertempuran ritual. Acara ini, yang diadakan pada Februari atau Maret di Sumba Barat, bertepatan dengan bulan purnama pertama dan munculnya cacing laut, dan diyakini memastikan panen yang melimpah.

Darah yang tumpah di lapangan dari Pasola dipandang sebagai pengorbanan suci untuk menyuburkan tanah. Ini bukan main-main. Saya melihat beberapa pejuang terluka oleh tombak, berdarah, tapi terus bertarung. Penonton berteriak mendukung tim mereka.

"Ini adalah tradisi kami sejak nenek moyang," kata seorang pria Sumba di samping saya. "Darah yang tumpah adalah hadiah untuk tanah. Semakin banyak darah, semakin baik panen kami. Ini adalah cara kami berkomunikasi dengan Marapu (roh leluhur)."

Sebelum pertempuran dimulai, pendeta Sumba (Rato) memimpin upacara untuk mengumpulkan cacing laut nyale saat fajar, tanda yang mencerminkan Bau Nyale Lombok, namun dengan konteks mitologis yang berbeda. Ritus Pasola yang rumit ini, dengan perpaduan pertempuran, spiritualitas, dan agronomi, unik bagi Sumba dan tidak memiliki padanan di tempat lain di Indonesia.

Reba, Caci, dan Ritual Lainnya

Di Flores, saya menyaksikan keragaman ritual yang luar biasa. Suku Ngada (sekitar Bajawa di Flores tengah) mengadakan festival Reba tahunan yang berfungsi sebagai perayaan Tahun Baru dan panen. Reba melibatkan beberapa hari persembahan kepada leluhur, pesta komunal ubi jalar (makanan pokok ritual), dan tarian serta lagu siklik untuk berterima kasih atas tahun yang lalu.

Di desa Bena, desa Ngada tradisional, saya melihat altar batu megalitik di mana leluhur dihormati, praktik yang menghubungkan langsung ke warisan Austronesia Neolitik. Rumah-rumah di Bena dibangun dalam lingkaran di sekitar struktur batu ini, dengan atap jerami tinggi yang menjulang.

"Ini adalah ngadhu dan bhaga," jelas seorang tetua Ngada, menunjuk ke patung kayu dan model rumah miniatur di tengah desa. "Ngadhu adalah simbol lelaki, bhaga adalah simbol perempuan. Mereka mewakili leluhur kami. Kami berdoa di sini, kami persembahan di sini. Tanpa ini, kami bukan Ngada."

Manggarai di Flores barat melakukan tarian caci, duel cambuk yang dikombinasikan dengan kostum yang rumit dan musik. Dua pria berdiri berhadapan, satu dengan cambuk kulit kerbau, yang lain dengan perisai. Mereka menari, memukul drum, lalu tiba-tiba saling menyerang! Cambuk melayang, mengenai kulit, meninggalkan bekas merah. Tapi ini semua terkontrol, ritual, bagian dari perayaan panen (Penti).

Di pulau Rote, peristiwa siklus hidup penting ditandai dengan pertunjukan nyanyian religius (natoni) dan tampilan ti'i langga (topi jerami tinggi Rote yang terkenal), melambangkan identitas mereka. Saya pernah melihat seorang pria Rote mengenakan ti'i langga ini. Tingginya hampir satu meter, berbentuk seperti payung raksasa terbuat dari daun lontar.

"Ini adalah mahkota kami," katanya dengan bangga. "Hanya orang Rote yang punya topi seperti ini. Kami pakai dalam upacara adat, pernikahan, pemakaman. Ini menunjukkan bahwa kami adalah orang Rote, bukan orang lain."

Bahasa: Jantung Identitas

Bahasa adalah pilar kunci identitas budaya untuk kelompok-kelompok etnis Nusa Tenggara, dan keragaman linguistik wilayah ini mencolok. Di NTB, bahasa Sasak (dengan beberapa dialek) dituturkan oleh Sasak Lombok, sementara di Pulau Sumbawa bahasa Sumbawa (Samawa) dan bahasa Bima (Mbojo) dituturkan oleh kelompok masing-masing.

Saya mencoba belajar beberapa kata Sasak selama di Lombok. "Selamat pagi dalam bahasa Sasak adalah 'Rahajeng semeng'," kata Rudi, teman Sasak saya. "Kalau mau bilang terima kasih, 'Tampi asih'. Tapi ada banyak dialek Sasak. Sasak di utara beda dengan Sasak di selatan."

"Bahasa kami sangat penting," lanjutnya. "Kalau kami tidak bicara Sasak, bagaimana kami bisa jadi orang Sasak? Bahasa adalah identitas. Dalam bahasa Sasak ada peribahasa, ada pantun, ada cara bicara yang unik. Semua itu hilang kalau kami hanya bicara bahasa Indonesia."

Mosaik linguistik Nusa Tenggara Timur bahkan lebih kompleks. NTT berisi dua keluarga bahasa utama: mayoritas adalah bahasa Austronesia, tetapi minoritas yang cukup besar adalah bahasa Papua (non-Austronesia). Bahasa-bahasa Austronesia termasuk Tetum (di Belu, Timor Barat), Atoni (Dawan) (pedalaman Timor), Rote, Sabu, Manggarai, Ngada, Lio, Ende, Sikka, Lamaholot (Flores Timur/Lembata), Kambera (Sumba Timur), Wewewa (Sumba Barat), dan banyak lagi.

Namun, di kepulauan Alor dan Pantar NTT, setidaknya 8-10 bahasa Papua dituturkan (misalnya Abui, Kabola, Klon, dll.), sisa-sisa populasi pra-Austronesia. Ini membuat NTT menjadi tambal sulam linguistik di mana bahasa satu lembah mungkin sama sekali tidak dapat dimengerti dengan yang berikutnya.

Saya mengalami ini ketika bepergian di Flores. Di Bajawa (Ngada), saya belajar beberapa kata bahasa Ngada. Tapi ketika saya pergi ke Maumere (Sikka), bahasanya sama sekali berbeda! Dan ketika saya mencoba menggunakan bahasa Ngada saya di sana, orang-orang hanya tertawa dan berkata, "Kami tidak mengerti, Pak!"

Bahasa-bahasa tradisional memainkan peran penting dalam praktik budaya: banyak ritual dilakukan atau dinyanyikan dalam bahasa lokal, yang membawa konsep-konsep bernuansa kosmologi orang-orang. Misalnya, pidato seremonial Manggarai (disebut ritus atau kepok) sangat puitis dan mengikuti pola leluhur. Dongeng rakyat Rote dinyanyikan dalam gaya bahasa simbolis.

Pelestarian bahasa-bahasa ini dengan demikian langsung terkait dengan pelestarian pandangan dunia dan sistem pengetahuan yang unik. Sementara bahasa Indonesia sekarang diajarkan secara universal di sekolah, orang-orang NTT sering membanggakan bahasa ibu mereka sebagai lencana identitas etnis.

Seni dan Kerajinan: Tenun Ikat yang Menakjubkan

Keragaman etnis Nusa Tenggara juga tercermin dalam seni dan budaya material mereka. Satu benang merah adalah tenun ikat, dilakukan dalam gaya yang sangat khas oleh kelompok-kelompok yang berbeda. Pulau-pulau NTT terkenal dengan tenun ikat, teknik kompleks mengikat-celup benang sebelum menenun untuk menciptakan pola.

Setiap kelompok etnis memiliki motif dan palet warna sendiri yang diturunkan melalui generasi. Kain ikat Sumba (hinggi dan lau) terkenal karena motif berani seperti kuda, pohon tengkorak, dan figur manusia, sering terkait dengan simbolisme Marapu. Ikat Flores (misalnya dari Ende atau Sikka) menampilkan pola geometris dan bunga dengan nada biru dan merah tua, kadang-kadang digunakan dalam pertukaran mahar.

Saya mengunjungi sebuah desa tenun di Sumba. Seorang wanita tua duduk di alat tenun tradisional, jari-jarinya bergerak dengan cepat melalui benang. Kain yang dia tenun menampilkan pola kuda dan manusia yang rumit.

"Ini adalah hinggi untuk suami saya," katanya. "Ini menceritakan kisah leluhur kami. Kuda ini adalah kuda yang dibawa leluhur kami ketika mereka datang ke Sumba. Orang-orang ini adalah raja-raja kami. Setiap motif punya arti. Ini bukan hanya kain. Ini adalah sejarah kami."

Orang Rote dan Sabu menenun sarung tubular unik dengan pola bungkus yang rumit dan motif simbolis yang menunjukkan klan dan status pemakai. Tenun bukan sekadar kegiatan ekonomi tetapi praktik ritual. Misalnya, ritual pewarnaan tertentu melibatkan persembahan untuk memastikan warna melekat dengan benar.

Lombok's Sasak juga memiliki tradisi tenun: songket Lombok, kain brokat dengan benang emas dan perak, terkenal dibuat di desa Sukarara, menampilkan motif Sasak dan dikenakan dalam pernikahan tradisional.

Musik: Dari Gendang Beleq hingga Sasando

Musik dan tarian sama khasnya. Di Lombok, Sasak memiliki ensembel Gendang Beleq, drum raksasa dimainkan berpasangan, diiringi gong dan seruling, digunakan dalam prosesi dan tarian perang. Saya menyaksikan pertunjukan Gendang Beleq di sebuah festival. Suara drum-nya begitu keras sehingga saya bisa merasakannya di dada saya. Para pemain mengenakan pakaian tradisional yang berwarna-warni, bergerak dengan sinkron, memukul drum raksasa mereka.

Di NTT, Sasando adalah alat musik dawai unik dari Rote: tabung bambu dengan banyak senar, dimainkan di dalam resonator berbentuk kipas terbuat dari daun lontar. Suara harp-nya yang lembut adalah simbol ikonik budaya Rote dan sering dimainkan dalam lagu-lagu tradisional.

Saya berkesempatan mendengar seorang pemain sasando di Kupang. Nadanya menenangkan, seperti gabungan antara harpa dan kecapi. "Ini adalah suara Rote," kata pemain. "Setiap pulau di NTT punya alat musik sendiri. Rote punya sasando. Flores punya gong. Timor punya sasando juga, tapi berbeda. Musik kami adalah bagian dari siapa kami."

Apa yang Membuat Nusa Tenggara Berbeda dari Indonesia Lainnya?

Pengaruh India yang Minimal, Kristen yang Dominan

Setelah menghabiskan berminggu-minggu di Nusa Tenggara, saya menyadari bahwa wilayah ini sangat berbeda dari bagian lain Indonesia yang pernah saya kunjungi. Kelompok-kelompok etnis pribumi Nusa Tenggara berbeda dalam cara yang signifikan dari kelompok etnis Indonesia lainnya, karena pengalaman historis unik mereka, evolusi budaya, dan konteks sosio-ekonomi.

Tidak seperti kelompok etnis besar Indonesia barat (misalnya Jawa, Bali, Melayu), mereka dari NTB dan NTT kurang dipengaruhi oleh peradaban Indik kuno dan pembentukan negara awal. Sebagaimana dicatat oleh sejarawan, banyak komunitas Nusa Tenggara adalah di antara yang "paling sedikit dipengaruhi, secara budaya, oleh pedagang India dan Jawa."

Mereka tidak mengembangkan kerajaan terpusat besar atau tradisi sastra tertulis pada skala, katakanlah, Majapahit Jawa atau istana Bali. Isolasi relatif ini berarti bahwa kepercayaan animis pribumi dan struktur sosial Austronesia (dewan suku, pemujaan leluhur, ritual megalitik) bertahan jauh lebih lama di Nusa Tenggara.

Misalnya, sementara budaya Jawa Tengah telah sangat dibentuk oleh epos Hindu-Buddha dan Kesultanan pada abad ke-15, orang Sumba dan banyak kelompok Flores masih beroperasi dalam kerangka suku leluhur pada waktu itu.

Satu perbedaan mencolok adalah demografi agama. Nusa Tenggara Timur (NTT) secara dominan Kristen (sekitar 80-90%, terbagi antara Katolik dan Protestan), warisan dari aktivitas misionaris Portugis dan Belanda. Nusa Tenggara Barat (NTB) secara dominan Muslim (karena Islamisasi Sasak dan Sumbawa pada abad ke-17), tetapi bahkan di sana Sasak mempertahankan praktik sinkretis yang unik.

Sebaliknya, Indonesia secara keseluruhan adalah mayoritas Muslim (sekitar 87%). NTT sebenarnya adalah salah satu dari sedikit provinsi Indonesia dengan mayoritas Kristen. Ini berarti kelompok etnis Nusa Tenggara (terutama di NTT) merayakan hari raya agama yang berbeda dan memiliki struktur komunitas yang berpusat pada gereja yang berbeda dibandingkan dengan, katakanlah, Jawa atau Batak.

Praktik Budaya yang Tak Ada Bandingannya

Kehidupan ritual kelompok Nusa Tenggara memiliki elemen yang tidak ditemukan di tempat lain. Misalnya, festival joust Pasola Sumba atau festival cacing laut Bau Nyale Lombok adalah tradisi yang sangat lokal tanpa padanan di antara kelompok etnis lain.

Banyak komunitas NTT terus menegakkan praktik pemakaman megalitik (makam Sumba yang rumit, monumen batu leluhur Ngada), sedangkan di sebagian besar Indonesia praktik seperti itu mati atau diganti berabad-abad lalu.

Bahkan dalam musik dan tarian, sementara Indonesia beragam, Nusa Tenggara menawarkan bentuk yang sangat berbeda. Misalnya, harpa sasando Rote atau drum gendang beleq Sasak jarang terlihat di provinsi lain.

Keragaman Linguistik dan Etnis yang Ekstrem

Nusa Tenggara sangat beragam secara etnis dalam dirinya sendiri, lebih dari banyak wilayah lain. Puluhan kelompok etnis Nusa Tenggara Timur dalam satu provinsi kontras dengan, katakanlah, komposisi etnis yang lebih homogen dari Jawa Tengah (yang secara luar biasa Jawa) atau bahkan provinsi multi-etnis seperti Sumatra Utara (didominasi oleh beberapa kelompok besar seperti Batak dan Melayu).

Fragmentasi ini berarti bahwa komunikasi antar-etnis di NTT sering memerlukan bahasa Indonesia, karena kelompok tetangga dapat berbicara bahasa yang tidak terkait. Sebagai perbandingan, bagian besar Indonesia barat dicakup oleh bahasa tunggal (Jawa di seluruh Jawa, Sunda di Jawa Barat, dll.).

Situasi Nusa Tenggara lebih mirip dengan keragaman Melanesia dari Papua atau kepulauan Maluku. Faktanya, populasi NTT digambarkan terutama sebagai "orang Papua" dengan "komunitas Melayu" yang cukup besar oleh Britannica, mencerminkan bagaimana pengamat luar melihat mereka secara budaya lebih dekat dengan masyarakat Melanesia/Papua dalam beberapa hal.

Kesimpulan: Jembatan Antara Dua Dunia

Ketika pesawat saya lepas landas dari Kupang, kembali ke Bali, saya menatap keluar jendela ke pulau-pulau yang tersebar di bawah. Nusa Tenggara, dengan bukit-bukit keringnya, pantai-pantainya yang indah, dan desa-desa terpencilnya, telah mengajari saya pelajaran yang mendalam tentang kompleksitas Indonesia.

Perjalanan saya melalui Nusa Tenggara telah menunjukkan kepada saya bahwa Indonesia bukan monolitik. Kita sering berbicara tentang "budaya Indonesia" atau "orang Indonesia" seolah-olah ada satu kesatuan. Tapi kenyataannya jauh lebih kompleks. Dari Sasak di Lombok hingga Atoni di Timor, dari Manggarai di Flores hingga Sumba dengan tradisi Marapu mereka, setiap kelompok memiliki sejarah, bahasa, budaya, dan identitas uniknya sendiri.

Nusa Tenggara adalah jembatan antara dua dunia. Secara geografis, ia membentang dari Bali (yang sangat Indonesia) ke arah Timor dan Papua (yang lebih Melanesia). Secara budaya, ia menggabungkan elemen Austronesia dan Melanesia. Secara religius, ia mencakup Muslim (NTB), Kristen (NTT), dan bahkan penganut kepercayaan asli (Marapu di Sumba).

Yang membuat saya paling terkesan adalah ketahanan budaya. Meskipun berabad-abad pengaruh luar, dari pedagang Cina hingga penjajah Portugis dan Belanda, dari Islamisasi hingga Kristenisasi, suku-suku Nusa Tenggara telah mempertahankan inti identitas mereka. Mereka masih berbicara bahasa ibu mereka. Mereka masih melakukan ritual leluhur mereka. Mereka masih menenun ikat mereka, memainkan musik tradisional mereka, dan merayakan festival unik mereka.

Amaq Saleh, tetua Sasak yang saya temui di Lombok, memberi saya nasihat terakhir sebelum saya pergi. "Ceritakan kepada orang-orang tentang kami," katanya. "Banyak orang Indonesia bahkan tidak tahu kami ada. Mereka pikir Nusa Tenggara hanya Lombok dan Komodo. Tapi kami adalah ratusan ribu orang, puluhan suku, dengan budaya yang kaya. Kami adalah bagian dari Indonesia, tapi kami juga unik. Jangan biarkan kami terlupakan."

Saya berjanji kepadanya bahwa saya tidak akan melakukannya. Dan sekarang, saya berbagi cerita ini dengan Anda, pembaca, dengan harapan bahwa lebih banyak orang akan mengenal dan menghargai kekayaan luar biasa dari suku-suku Nusa Tenggara.

Catatan Penulis: Perjalanan saya ke Nusa Tenggara telah mengubah cara saya memandang Indonesia. Saya menyadari bahwa "Indonesia" bukan hanya Jawa dan Bali. Ini adalah negara yang sangat beragam dengan ratusan kelompok etnis, masing-masing dengan sejarah dan budaya uniknya. Nusa Tenggara, dengan posisinya sebagai jembatan antara Asia Tenggara dan Melanesia, dengan campuran pengaruh Hindu, Islam, dan Kristen, dengan keragaman linguistik dan etnisnya yang ekstrem, adalah mikrokosmos dari kompleksitas Indonesia. Memahami Nusa Tenggara adalah memahami bahwa "persatuan dalam keberagaman" (Bhinneka Tunggal Ika) bukan hanya slogan, tapi realitas yang harus kita jaga dan hargai. Suku-suku Nusa Tenggara mengingatkan kita bahwa kekuatan Indonesia bukan dalam keseragaman, tapi dalam keberagamannya yang luar biasa. Dan keberagaman itu perlu dilindungi, dihormati, dan dirayakan.