Mengenal kembali Kerajaan-Kerajaan Hindu di Nusantara: Dari Kutai hingga Majapahit

2 Nov 2025

Ketika Saya Menemukan Prasasti yang Mengubah Pemahaman Saya tentang Indonesia

Hujan gerimis turun di Museum Nasional Jakarta ketika saya berdiri di depan sebuah replika prasasti kuno. Huruf-hurufnya aneh, tidak seperti aksara Arab atau Latin yang saya kenal. "Ini adalah aksara Pallava dari India," jelas seorang pemandu museum yang melihat kebingungan di wajah saya. "Prasasti ini berasal dari abad ke-4 Masehi, dari Kerajaan Kutai di Kalimantan. Ini adalah bukti kerajaan Hindu pertama di Indonesia."

Saya terdiam. Kerajaan Hindu? Di abad ke-4? Selama ini, dalam bayangan saya, sejarah Indonesia dimulai dengan kerajaan-kerajaan Islam seperti Demak atau Mataram. Saya tidak menyadari bahwa jauh sebelum Islam datang, Indonesia telah menjadi rumah bagi kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha yang megah dan berpengaruh.

Dari situlah obsesi saya dimulai. Dalam beberapa bulan berikutnya, saya akan melakukan perjalanan melintasi Indonesia, dari Kalimantan hingga Jawa, dari Sumatra hingga Bali, menelusuri jejak kerajaan-kerajaan Hindu yang pernah menjadi pusat peradaban Nusantara. Saya akan berdiri di reruntuhan candi-candi kuno, membaca prasasti-prasasti yang telah berusia lebih dari seribu tahun, dan berbicara dengan arkeolog dan sejarawan yang telah mengabdikan hidup mereka untuk mengungkap masa lalu yang terlupakan ini.

Yang saya temukan melampaui semua ekspektasi. Ini bukan sekadar cerita tentang kerajaan-kerajaan kuno yang telah lama mati. Ini adalah narasi tentang bagaimana Indonesia menjadi jembatan antara India dan Cina, tentang bagaimana rempah-rempah kita menarik pedagang dari seluruh dunia, tentang bagaimana raja-raja kita membangun candi yang masih membuat dunia takjub hingga hari ini, dan tentang bagaimana warisan kerajaan-kerajaan Hindu ini masih hidup dalam budaya Indonesia modern.

Mari saya ajak Anda dalam perjalanan waktu ini, perjalanan untuk memahami kerajaan-kerajaan Hindu di Indonesia, dari kemunculan mereka pada abad ke-4 hingga kejatuhan mereka pada abad ke-16, dan warisan abadi yang mereka tinggalkan.

Awal Mula: Kerajaan Hindu Pertama di Nusantara (Abad ke-4 hingga ke-7)

Kutai: Di Mana Semuanya Dimulai

Perjalanan saya dimulai dengan penerbangan ke Samarinda, Kalimantan Timur. Dari sana, saya berkendara selama beberapa jam ke Muara Kaman, sebuah desa kecil di tepi Sungai Mahakam. Tempat ini tampak sangat biasa, dengan rumah-rumah panggung tradisional dan perahu-perahu kayu yang berlabuh di sungai. Tapi di sinilah sejarah Indonesia dimulai.

"Di sini ditemukan tujuh prasasti yupa," kata Pak Agus, seorang arkeolog lokal yang setuju menemani saya. "Prasasti ini berasal dari akhir abad ke-4 Masehi, dan menceritakan tentang Raja Mulavarman dari Kerajaan Kutai Martadipura."

Kami berjalan ke sebuah situs kecil yang dipagari. Di sana, saya melihat replika prasasti berbentuk tiang (aslinya ada di Museum Nasional). Huruf-hurufnya dalam aksara Pallava dan bahasa Sanskerta, sama sekali asing bagi mata modern.

"Prasasti ini mencatat pengorbanan ritual yang dilakukan Raja Mulavarman," jelas Pak Agus. "Dia memberikan hadiah besar kepada para Brahmana, melakukan upacara Vedik. Ini menunjukkan bahwa pada abad ke-4, kerajaan Hindu dengan struktur sosial yang kompleks sudah ada di sini."

Saya mencoba membayangkan bagaimana 1.600 tahun yang lalu, di hutan tropis Kalimantan ini, seorang raja Indonesia melakukan ritual Hindu yang sama dengan yang dilakukan di India. "Bagaimana Hindu bisa sampai ke sini?" tanya saya.

"Melalui perdagangan," jawab Pak Agus. "Pedagang India, terutama Brahmana, datang ke Nusantara mencari rempah-rempah dan hasil hutan. Mereka membawa tidak hanya barang dagangan, tetapi juga agama, aksara, dan ide tentang kerajaan. Raja-raja lokal melihat konsep Hindu tentang raja sebagai titisan dewa sebagai cara untuk melegitimasi kekuasaan mereka, mengangkat mereka di atas kepala suku biasa."

Kerajaan Kutai, meskipun tidak banyak yang diketahui tentang struktur politiknya, jelas memiliki sumber daya yang cukup untuk mendukung ritual-ritual besar. Prasasti mencatat pengorbanan ribuan ekor hewan dan pemberian emas kepada Brahmana. Ini menunjukkan kerajaan yang makmur, kemungkinan dari perdagangan hasil hutan dan sungai di sepanjang Mahakam.

"Sayangnya," kata Pak Agus dengan nada sedih, "Kutai tidak bertahan lama dalam catatan sejarah. Setelah abad ke-7, tidak ada lagi prasasti. Mungkin kerajaan ini runtuh atau digantikan oleh kekuatan lain. Tapi warisannya tetap: Kutai adalah bukti bahwa kerajaan Hindu Indonesia dimulai di sini, di hutan Kalimantan."

Tarumanagara: Kerajaan Hindu Pertama di Jawa

Dari Kalimantan, saya terbang ke Jakarta dan berkendara ke Bogor. Di sekitar Bogor inilah, menurut para ahli, berdiri Kerajaan Tarumanagara pada abad ke-5 hingga ke-7. Di Museum Prasasti di Jakarta, saya bertemu dengan Dr. Retno, seorang epigrafis yang telah menghabiskan puluhan tahun mempelajari prasasti-prasasti Tarumanagara.

"Tarumanagara adalah kerajaan Hindu pertama yang benar-benar terorganisir di Jawa," jelasnya sambil menunjukkan foto-foto prasasti. "Kerajaan ini berpusat di Jawa Barat, kemungkinan di sekitar Bogor modern, dan mencapai puncaknya di bawah Raja Purnavarman pada akhir abad ke-5."

Prasasti-prasasti Purnavarman, ditulis dalam bahasa Sanskerta, menggambarkannya sebagai raja yang kuat yang menaklukkan wilayah-wilayah tetangga dan melakukan pekerjaan umum besar-besaran. Salah satu prasasti yang paling terkenal adalah Prasasti Tugu, yang mencatat penggalian kanal sepanjang 6.112 tombak (sekitar 11 kilometer) untuk irigasi dan pengendalian banjir.

"Bayangkan," kata Dr. Retno dengan antusias, "pada abad ke-5, raja Jawa sudah membangun kanal irigasi besar! Ini menunjukkan pemerintahan yang terorganisir dengan baik, dengan kemampuan untuk memobilisasi ribuan pekerja untuk proyek infrastruktur."

Nama Tarumanagara sendiri menarik. "Taruma" dalam bahasa Sunda berarti nila, tanaman untuk pewarna biru. Catatan Cina memang mencatat nila sebagai produk utama kerajaan ini. "Jadi ekonomi Tarumanagara kemungkinan berbasis pertanian, terutama tanaman komersial seperti nila," jelas Dr. Retno.

Yang menarik adalah pluralisme agama di Tarumanagara. "Salah satu prasasti menghubungkan Purnavarman dengan dewa Wisnu," kata Dr. Retno. "Tapi catatan pelancong Cina menunjukkan praktik Buddha di kalangan rakyat. Ini menunjukkan bahwa Hindu dominan di kalangan istana, tapi Buddha juga ada."

Secara politis, Tarumanagara memiliki monarki terpusat dengan Purnavarman sebagai kepala, dan kemungkinan kepala suku lokal di bawah kekuasaannya setelah penaklukannya. Peran raja sebagai pembangun menunjukkan perhatian pada tata kelola ekonomi, meningkatkan pertanian melalui irigasi.

"Sayangnya," lanjut Dr. Retno dengan nada suram, "pada akhir abad ke-7, pengaruh Tarumanagara menurun. Kemungkinan di bawah tekanan dari ekspansi Sriwijaya. Prasasti Kota Kapur dari 686 menyebutkan invasi Sriwijaya ke Jawa yang 'mungkin berkontribusi pada akhir Tarumanagara.'"

Sriwijaya: Imperium Maritim yang Menguasai Nusantara (Abad ke-7 hingga ke-13)

Palembang: Di Jantung Kekaisaran Laut

Ketika pesawat saya mendarat di Palembang, Sumatra Selatan, saya merasakan antisipasi yang luar biasa. Ini adalah tempat di mana berdiri Sriwijaya, kerajaan maritim terbesar dalam sejarah Nusantara, yang menguasai perdagangan antara India dan Cina selama berabad-abad.

Di Museum Sriwijaya, saya bertemu dengan Professor Slamet, seorang ahli sejarah maritim. "Sriwijaya," katanya sambil menunjuk ke peta kuno, "adalah imperium maritim dan perdagangan yang berpusat di Palembang ini, berkembang dari tahun 600-an hingga 1200-an."

Menurut prasasti, seorang pemimpin Sriwijaya bernama Dapunta Hyang Sri Jayanasa memulai perjalanan suci (Siddhayatra) sekitar tahun 683 M, menaklukkan daerah-daerah tetangga. Ini kemungkinan adalah momen pendiri kekuatan Sriwijaya.

"Pada akhir abad ke-7," jelas Professor Slamet, "Sriwijaya telah menegaskan kontrol atas sebagian besar Sumatra selatan dan Selat Malaka yang strategis, serta bagian dari Semenanjung Melayu. Mereka bahkan mengirim ekspedisi angkatan laut ke Jawa pada tahun 686, yang menyebabkan penaklukan wilayah Taruma di Jawa Barat."

Kunci kekuatan Sriwijaya adalah lokasinya. Menguasai Selat Malaka, chokepoint antara Samudra Hindia dan Laut Cina Selatan, Sriwijaya bisa memaksa semua kapal dagang untuk singgah di pelabuhannya. "Bayangkan," kata Professor Slamet, "setiap kapal yang berlayar antara India dan Cina harus melewati sini. Sriwijaya mengenakan pajak, menyediakan perlindungan, dan menghubungkan pedagang. Mereka menjadi sangat kaya."

Struktur Politik: Mandala dan Thalassokrasi

Yang menarik tentang Sriwijaya adalah struktur politiknya. "Sriwijaya adalah thalassokrasi klasik, kekuatan angkatan laut, dengan struktur federatif yang longgar," jelas Professor Slamet. "Maharaja Sriwijaya memerintah dari ibu kota dan memegang kedaulatan atas berbagai kota pelabuhan dan kerajaan pedalaman."

Sistem ini disebut mandala. Raja pusat dengan vasal semi-otonom yang terikat oleh kesetiaan pribadi dan upeti. "Pelabuhan-pelabuhan di sekitar seperti Malayu (Jambi), Kedah (di Malaya), dan bahkan bagian Jawa mengakui kekuasaan Sriwijaya pada masa puncak," kata Professor Slamet. "Sebagai imbalannya, Sriwijaya menyediakan perlindungan militer, terutama patroli angkatan laut, dan akses ke jaringan perdagangannya yang menguntungkan."

Saya bertanya tentang agama. "Sriwijaya adalah kerajaan Buddha Mahayana," jawabnya. "Raja-raja mendukung Buddha untuk meningkatkan prestise mereka. Mereka mendirikan biara di India Selatan, misalnya di Negapattinam di Tamil Nadu, untuk membantu peziarah."

Yang paling terkenal adalah kunjungan biksu Cina Yijing (I-Tsing) yang menghabiskan sekitar 6-7 tahun di Sriwijaya (671 dan 685-695 M) untuk mempelajari bahasa Sanskerta dan teks-teks Buddha. Yijing memuji Sriwijaya sebagai pusat pembelajaran Buddha. "Ini menunjukkan bahwa Sriwijaya memiliki universitas-biara, dan raja melindungi biksu dan cendekiawan, menggabungkan otoritas spiritual dengan legitimasi politik," jelas Professor Slamet.

Perdagangan dan Kemakmuran

Kekuatan Sriwijaya terletak pada kontrol perdagangan maritim. Dengan menguasai Malaka, mereka menyalurkan perdagangan antara Samudra Hindia dan Laut Cina Selatan. Dengan mengenakan pajak dan memfasilitasi pedagang, Sriwijaya mengumpulkan kekayaan besar dalam emas, rempah-rempah, dan barang mewah.

"Mereka mempertahankan hubungan perdagangan internasional dengan Cina, India, dan Timur Tengah," kata Professor Slamet. Catatan Cina mendokumentasikan utusan Sriwijaya yang sering membawa upeti ke istana Tang dan Song, sambil juga berdagang produk Indonesia seperti kayu aromatik, resin (kamper, benzoin), rempah-rempah, gading, timah, dan emas.

Yang jenius adalah bagaimana Sriwijaya menggunakan Orang Laut (suku laut Melayu). "Sriwijaya bersekutu dengan atau mengendalikan pelaut Melayu ini untuk mempolisi jalur laut," jelas Professor Slamet. "Angkatan laut Sriwijaya dan pasukan tambahan Orang Laut mereka bertindak sebagai patroli sekaligus bajak laut. Mereka memastikan bahwa kapal dagang singgah di pelabuhan Sriwijaya. Mereka yang menolak bisa diserang oleh armada bajak laut yang loyal kepada Sriwijaya."

Strategi cerdas ini menjaga jalur perdagangan aman bagi mereka yang patuh, sambil mengalihkan kekayaan ke pelabuhan Sriwijaya. Pada abad ke-9 hingga ke-10, Sriwijaya telah menjadi entrepôt utama wilayah ini, "superpower emporium" di mana barang dari Timur dan Barat dipertukarkan.

Perang dan Rivalitas

Sebagai thalassokrasi, militer Sriwijaya didominasi oleh angkatan laut. Mereka menggunakan armada ini untuk memperluas pengaruh, misalnya penaklukan angkatan laut Jawa pada 686, dan untuk dengan cepat menekan vasal yang memberontak.

Musuh regional utama Sriwijaya adalah kerajaan-kerajaan Jawa. Pada akhir abad ke-10, permusuhan pecah dengan Mataram (Medang) di Jawa. Raja Dharmawangsa dari Jawa meluncurkan serangan angkatan laut ke Sriwijaya sekitar 990 M, kemungkinan bertujuan untuk memecahkan monopolinya atas Selat.

Sriwijaya membalas dengan tegas. Pada 1006, mereka diduga menghasut serangan balik (bersekutu dengan pemberontak yang didukung Sumatra di Jawa) yang menghancurkan ibu kota Jawa dan membunuh Dharmawangsa. Pukulan ini menghancurkan kerajaan Medang (peristiwa yang disebut orang Jawa Pralaya, "kehancuran").

"Sriwijaya dengan demikian menghilangkan pesaing dan untuk sementara memperluas pengaruhnya atas pelabuhan-pelabuhan Jawa di awal abad ke-11," kata Professor Slamet.

Namun, Sriwijaya sendiri segera menghadapi ancaman eksternal yang lebih besar: Kekaisaran Chola India Selatan. Pada 1025 M, Raja Chola Rajendra I meluncurkan invasi maritim besar-besaran ke wilayah Sriwijaya. Pasukan Chola merebut Palembang, menangkap raja Sriwijaya, dan menjarahi perbendaharaannya.

Saya mengunjungi situs istana lama Sriwijaya di Palembang, sekarang hanya gundukan tanah di tengah kota modern. "Di sini," kata Professor Slamet dengan nada sombre, "armada Chola mendarat dan menghancurkan kekuatan Sriwijaya. Meskipun Chola tidak menduduki Sumatra dalam jangka panjang, serangan mereka melemahkan hegemoni Sriwijaya."

Setelah konflik ini, kohesi Sriwijaya mulai retak. Pada akhir abad ke-11 hingga ke-12, Melayu (Jambi) di pantai timur Sumatra tumbuh lebih independen dan kuat, secara efektif menggantikan Sriwijaya sebagai kerajaan Sumatra yang terkemuka.

Mataram Jawa Tengah: Era Candi Megah (Abad ke-8 hingga ke-10)

Borobudur dan Prambanan: Keajaiban Dunia di Jawa

Sementara Sriwijaya memerintah laut, Jawa Tengah menjadi jantung peradaban Hindu-Buddha monumental. Perjalanan saya selanjutnya membawa saya ke Yogyakarta, untuk mengunjungi dua candi paling terkenal di Indonesia: Borobudur dan Prambanan.

Saya tiba di Borobudur saat fajar, ketika kabut masih menyelimuti candi. Naik melalui tingkat-tingkatnya, dari dunia nafsu di bagian bawah hingga dunia tanpa bentuk di puncak, saya merasakan keagungan visi spiritual yang menciptakan struktur ini.

"Borobudur dibangun sekitar 780-830 M oleh Dinasti Sailendra, yang adalah Buddha Mahayana," jelas Ibu Siti, seorang arkeolog yang menemani saya. "Ini adalah monument Buddha terbesar di dunia, dengan lebih dari 2.600 panel relief yang mengilustrasikan sutra Buddha dan kehidupan Jawa."

Desainnya mencerminkan pengetahuan lanjutan tentang geometri dan kosmologi suci. "Borobudur adalah mandala tiga dimensi," kata Ibu Siti. "Setiap tingkat mewakili tahap dalam perjalanan menuju pencerahan."

Keesokan harinya, saya mengunjungi Prambanan, hanya 40 kilometer dari Borobudur. Kontrasnya mencolok. Jika Borobudur adalah Buddha dan horizontal, Prambanan adalah Hindu dan vertikal, dengan menara-menara yang menjulang tinggi.

"Prambanan dibangun pada pertengahan abad ke-9 oleh raja-raja Hindu dari Dinasti Sanjaya, setelah kemunduran Sailendra," jelas Ibu Siti. "Candi pusat Siwa (Loro Jonggrang) berdiri 47 meter tinggi dan dihiasi dengan relief Ramayana."

Kedekatan dan keagungan paralel Borobudur dan Prambanan mencontohkan dualitas agama kerajaan Mataram. "Ini menunjukkan tingkat toleransi agama dan sinkretisme," kata Ibu Siti. "Bahkan saat penguasa beralih antara identitas Buddha dan Hindu, mereka mempekerjakan pengrajin dari budaya yang sama dan mentolerir ibadah kedua tradisi oleh rakyat."

Politik dan Pemerintahan

Kerajaan Medang/Mataram adalah negara agraria daratan dengan ibu kotanya di Jawa tengah-selatan yang subur, berbeda dari orientasi maritim Sriwijaya. Otoritas raja bersandar pada mengendalikan dataran penghasil padi dan memerintahkan tenaga kerja banyak petani untuk irigasi dan konstruksi.

Pemerintahan kemungkinan mengikuti model istana klasik yang di-India-kan: raja di pusat, dengan pangeran atau penguasa regional (sering kerabat) mengelola daerah terpencil. Prasasti menyebutkan pejabat dan gubernur lokal (rupaka), menunjukkan beberapa hierarki administratif.

Yang penting, raja-raja Mataram memproklamirkan diri mereka sebagai ilahi atau semi-ilahi, baik sebagai inkarnasi Siwa atau sebagai Bodhisattva. "Ini adalah konsep devarāja (raja-dewa) yang mengakar," jelas Ibu Siti. "Raja dianggap sebagai perwujudan hidup dari dewa, yang memperkuat otoritas mereka."

Perpindahan ke Jawa Timur

Periode Jawa Tengah Mataram berakhir secara tiba-tiba pada abad ke-10. Catatan sejarah hampir berhenti pada 928 M, bertepatan dengan perpindahan istana kerajaan ke Jawa Timur. Tradisi menyatakan bahwa Raja Mpu Sindok memindahkan ibu kota ke Tamwlang dan kemudian Watu Galuh di Jawa Timur sekitar 929 M.

"Alasan perpindahan ini tidak sepenuhnya jelas," kata Ibu Siti. "Kronik Jawa mengisyaratkan letusan gunung berapi bencana (mungkin Gunung Merapi) yang menghancurkan Jawa Tengah. Teori lain adalah tekanan dari agresi Sriwijaya atau pemberontakan lokal membuat Jawa Tengah tidak dapat dipertahankan."

Bagaimanapun, pada pertengahan abad ke-10, pusat kekuatan Jawa telah pindah ke timur, menandai akhir kerajaan klasik Jawa Tengah.

Kerajaan Jawa Timur: Kediri dan Singhasari (Abad ke-11 hingga ke-13)

Kediri: Zaman Keemasan Sastra Jawa

Setelah relokasi, kekuatan Jawa terfragmentasi dan direformasi di Jawa Timur. Saya melakukan perjalanan ke Kediri dan Malang untuk menelusuri jejak kerajaan-kerajaan Jawa Timur.

Di museum lokal di Kediri, saya bertemu dengan Pak Bambang, seorang guru sejarah yang antusias tentang masa lalu daerahnya. "Kerajaan Kediri di pedalaman Jawa Timur yang subur muncul sebagai negara penerus yang lebih kuat," jelasnya. "Ini adalah kerajaan Hindu (Siwa) yang dikenal dengan pencapaian sastra dan artistiknya yang hidup."

Raja seperti Jayabhaya (memerintah 1135-1157) memimpin zaman keemasan sastra Jawa. Penyair istana Kediri menyusun kakawin epik (puisi) dalam bahasa Jawa Kuno, seperti Kresnayana dan Bharatayudha.

"Salah satu prasasti terkenal memuji pemerintahan Jayabhaya karena keadilan dan kemakmuran," kata Pak Bambang dengan bangga. "Ini adalah masa ketika budaya Jawa berkembang, ketika bahasa dan sastra kita mencapai ketinggian baru."

Secara politis, Kediri mempertahankan monarki dengan protokol istana yang rumit. Hierarki pejabat mengelola provinsi, dan penguasa regional membayar upeti. Raja Kediri menata diri mereka dengan gelar yang ditinggikan, Jayabhaya misalnya, mengklaim sebagai inkarnasi Wisnu.

Ekonomi Kediri adalah agraria tetapi juga semakin maritim: ia memiliki akses ke sungai Brantas yang mengalir ke laut, dan penguasa Kediri terlibat dalam perdagangan rempah melalui pelabuhan di pantai utara Jawa.

Singhasari: Kerajaan yang Menantang Mongol

Supremasi Kediri berakhir pada awal abad ke-13 ketika dinasti baru menggulingkannya. Pada 1222, seorang rakyat jelata yang menjadi penguasa kharismatik Ken Arok merebut kekuasaan di Jawa. Ken Arok mengalahkan Raja Kertajaya dari Kediri di pertempuran Ganter (1222) dan mendirikan Kerajaan Singhasari sebagai gantinya.

Saya mengunjungi Candi Singosari di Malang, sebuah candi yang dibangun oleh dinasti ini. Arsitekturnya berbeda dari candi-candi Jawa Tengah, lebih ramping dan dengan perpaduan ikonografi Hindu dan Buddha.

"Raja-raja Singhasari, terutama Kertanagara (memerintah 1268-1292), dikenal karena praktik Buddha Tantranya dan mempromosikan perpaduan ibadah Siwa-Buddha," jelas seorang pemandu di situs itu. "Kertanagara juga terkenal karena kebijakan luar negeri yang berani: ia adalah raja Jawa pertama yang meluncurkan pelayaran penaklukan di luar Jawa."

Pada 1275, Kertanagara mengirim ekspedisi Pamalayu ke Sumatra dengan tujuan menaklukkan Melayu (Jambi) dan wilayah-wilayah bekas Sriwijaya. Ini sebagian untuk mengamankan sumber daya dan sebagian untuk mencegah Kekaisaran Mongol yang mendekat (Kublai Khan telah menaklukkan Cina dan menimbulkan ancaman di wilayah ini).

Yang paling dramatis, Kertanagara menghina utusan Kublai Khan pada 1289, penolakan untuk membayar upeti yang memancing kemarahan Mongol. Namun sebelum Mongol bisa membalas, Singhasari dikhianati dari dalam. Pada 1292, pangeran vasal Kediri Jayakatwang memberontak dan membunuh Kertanagara.

Majapahit: Puncak Peradaban Hindu Indonesia (1293 hingga sekitar 1520)

Raden Wijaya dan Kelahiran Kerajaan Terbesar

Dari reruntuhan Singhasari, bangkit kerajaan terbesar dalam sejarah Indonesia: Majapahit. Saya menghabiskan beberapa hari di Trowulan, situs bekas ibu kota Majapahit di Jawa Timur. Daerah ini sekarang adalah pedesaan yang tenang, dengan sawah hijau dan desa-desa kecil. Tapi di bawah tanah ini tersembunyi sisa-sisa kota yang pernah menjadi pusat kekaisaran yang membentang di seluruh Nusantara.

"Majapahit didirikan pada 1293 oleh Raden Wijaya (Kertarajasa Jayawardhana), seorang pangeran Singhasari yang selamat dari kematian Kertanagara," jelas Bu Dewi, kepala Museum Trowulan. "Dengan diplomasi yang cerdik dan kekuatan, Wijaya meminta bantuan Mongol untuk mengalahkan rivalnya (perampas Kediri) dan kemudian mengusir pasukan Mongol."

Cerita ini sangat dramatis. Ketika armada Mongol tiba untuk menghukum Kertanagara (yang sudah mati), mereka menemukan Jawa dalam kekacauan. Wijaya menawarkan untuk membantu mereka mengalahkan Jayakatwang, perampas dari Kediri. Setelah Jayakatwang dikalahkan, Wijaya tiba-tiba berbalik melawan Mongol dan mengusir mereka dari Jawa!

"Kudeta brilian ini tidak hanya menyelamatkan Jawa dari dominasi asing tetapi juga meletakkan fondasi untuk era berikutnya dan terbesar: Majapahit," kata Bu Dewi dengan bangga.

Wijaya dinobatkan sebagai raja pertama Majapahit, memilih ibu kota baru di Trowulan (dekat Mojokerto modern, Jawa Timur). Nama Majapahit ("buah Maja yang pahit") berasal dari pohon buah lokal, secara simbolis menandai pusat kekuatan baru.

Hayam Wuruk dan Gajah Mada: Tim yang Membuat Majapahit Agung

Majapahit benar-benar memasuki fase kekaisarannya pada pertengahan abad ke-14. Raja Hayam Wuruk (memerintah 1350-1389) naik takhta sebagai remaja, tetapi kekuatan efektif dijalankan bersama perdana menteri brilian Gajah Mada.

Gajah Mada (diangkat Mahapatih pada 1330) telah melayani di bawah raja-raja sebelumnya dan pada 1331 bersumpah Sumpah Palapa yang terkenal untuk menyatukan Nusantara di bawah pemerintahan Majapahit. Selama pemerintahan Hayam Wuruk, Majapahit melakukan serangkaian kampanye militer dan diplomatik yang sangat memperluas pengaruhnya.

"Pasukan dan utusan Majapahit membawa banyak wilayah ke dalam sistem vassalage atau aliansi," jelas Bu Dewi sambil menunjukkan peta kuno di museum. "Ini termasuk kerajaan-kerajaan di Sumatra, Semenanjung Melayu, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan bahkan bagian Filipina."

Majapahit menaklukkan Bali (1343), Lombok dan pulau-pulau lain di timur, menundukkan sisa Sriwijaya di Palembang (sekitar 1377), dan menjalankan kekuasaan atas negara-negara Melayu seperti Melayu (Jambi) dan Tanjungpura (Kalimantan Barat).

Daftar kampanye Gajah Mada (menurut kronik Nagarakretagama dari 1365) membanggakan hampir seratus tanah upeti, meskipun tingkat kontrol aktual bervariasi. "Beberapa sejarawan memperdebatkan apakah Majapahit adalah kekaisaran terpusat atau mandala hegemonik," kata Bu Dewi. "Kemungkinan itu adalah sphere of influence maritim di mana pelabuhan dan negara-negara besar membayar upeti atau mengakui Majapahit sebagai imbalan untuk hak istimewa perdagangan atau aliansi politik."

Pemerintahan dan Administrasi yang Canggih

Majapahit mengembangkan administrasi birokrasi yang canggih untuk wilayah intinya di Jawa dan Bali. Raja adalah otoritas tertinggi, dibantu oleh dewan yang termasuk Mahapatih (menteri kepala), Dharmadhyaksa (hakim kepala untuk hukum agama, satu untuk Siwa dan satu untuk Buddha), Senapati (komandan tentara), dan menteri lain yang mengawasi pelabuhan, pertanian, dll.

"Provinsi diperintah oleh raja muda, sering anggota keluarga kerajaan," jelas Bu Dewi. "Misalnya, kerabat Hayam Wuruk memerintah provinsi penting seperti Daha (bekas Kediri) dan Kahuripan."

Teks Nagarakretagama menghitung pembagian administratif ini, menunjukkan ranah yang terstruktur. Majapahit juga mempertahankan jaringan pejabat mata-mata dan utusan untuk mengelola vasal yang jauh.

PM yang terkenal Gajah Mada dikreditkan dengan memusatkan otoritas dan dengan cekatan menangani diplomasi dan perang untuk menjaga mandala Majapahit tetap bersama. Peran wanita kerajaan juga penting. Ratu Tribhuwana (ibu Hayam Wuruk) memerintah sebagai raja dari 1328-1350 sebelum Hayam Wuruk.

Yang menarik adalah agama istana. "Majapahit mengikuti agama sinkretis yang disebut Siwa-Buddha," kata Bu Dewi. "Mereka melihat Siwa dan Buddha sebagai dua manifestasi dari esensi ilahi yang sama. Ini membantu menyatukan rakyat dengan iman yang berbeda."

Kemakmuran Ekonomi dan Jaringan Perdagangan

Majapahit duduk di persimpangan jaringan perdagangan Asia selama masa perdagangan yang berkembang (abad ke-14 hingga ke-15). Ibu kotanya Trowulan adalah daratan, tetapi Majapahit mengendalikan pelabuhan-pelabuhan kunci di pantai utara Jawa (seperti Surabaya, Tuban, Gresik) dan Bali dan Sumatra, melalui mana ia berdagang dengan Cina, Champa, Kamboja, dan India.

Catatan Ming Cina mencatat bahwa Majapahit mengirim misi upeti ke Nanjing dan Beijing, dan sebagai balasan pedagang Cina sering mengunjungi pelabuhan-pelabuhan Jawa. Majapahit mengekspor padi (produksi surplus Jawa), rempah-rempah yang diperoleh dari pulau-pulau timur (cengkih, pala, fuli dari Kepulauan Maluku, sering melalui vasal Majapahit), kayu cendana dari Timor, emas dan lada dari Sumatra, dan produk hutan seperti resin, rotan, dan kayu harum dari Kalimantan.

"Majapahit mengimpor sutra, porselen, dan besi dari Cina, dan tekstil katun, opium, dan manik-manik dari India dan Timur Tengah," jelas Bu Dewi. "Pegangan Majapahit atas perdagangan rempah tidak langsung tetapi menguntungkan. Ia bertindak sebagai broker, mengumpulkan rempah-rempah dari wilayah vasal dan menjualnya kepada pedagang Cina dan India."

Bukti kemakmuran Majapahit bisa dilihat di situs Trowulan. "Kelimpahan sisa-sisa terakota (pipa, genteng atap, patung) di Trowulan menunjukkan industri kerajinan perkotaan yang berkembang didukung oleh patronase kerajaan," kata Bu Dewi sambil menunjukkan pecahan keramik kuno.

Kejayaan Budaya: Sastra dan Seni

Era Majapahit terkenal dengan output budaya dan intelektualnya, yang telah meninggalkan warisan abadi di Indonesia. Sastra Majapahit dalam bahasa Jawa Kuno mencapai ketinggian baru.

Penyair istana Mpu Prapanca menulis Nagarakretagama (1365), deskripsi teliti tentang geografi dan administrasi kerajaan, dan Mpu Tantular menulis Sutasoma, puisi yang berisi baris terkenal "Bhinneka Tunggal Ika" ("Bersatu dalam Keberagaman"), sekarang moto nasional Indonesia!

"Karya-karya ini mencerminkan sinkretisme filosofis yang canggih dan cita-cita negarawan," kata Bu Dewi dengan bangga. "Ini menunjukkan bahwa Majapahit bukan hanya kekuatan militer, tetapi juga pusat intelektual."

Seni dan arsitektur terus berkembang. Candi Majapahit (candi) seperti Panataran (Blitar) dan Tikus dan Bajang Ratu gate di Trowulan memamerkan ukiran batu yang rumit dan konstruksi bata merah yang khas.

Wayang kulit (teater bayangan boneka) secara tradisional ditelusuri kembali ke era ini, di mana kisah-kisah epos Hindu Mahabharata dan Ramayana dilokalisasi dan dilakukan dalam bahasa Jawa.

Kemunduran dan Kejatuhan: Ketika Islam Datang

Kemunduran Majapahit dimulai pada akhir abad ke-14 dan dipercepat pada abad ke-15. Setelah kematian Hayam Wuruk pada 1389, perebutan suksesi meletus antara ahli warisnya (Wikramawardhana) dan seorang putri yang merampas (Ratu Suhita). Meskipun dinasti berlanjut, konflik-konflik ini melemahkan otoritas pusat.

Pada saat yang sama, Islam menyebar di antara komunitas perdagangan kepulauan, terutama di sepanjang pantai utara Jawa (Pasisir). Pada pertengahan abad ke-15, serangkaian kota pelabuhan Muslim, seperti Demak, Gresik, Tuban, dan Ampel, telah tumbuh dalam kekayaan dan pengaruh, beberapa didirikan oleh pedagang Cina-Muslim atau Arab dan mualaf lokal.

"Pelabuhan-pelabuhan ini mulai menegaskan kemerdekaan dari kontrol Majapahit," jelas Bu Dewi dengan nada sedih. "Kekaisaran yang pernah agung secara bertahap berkontraksi ke jantung Jawanya."

Penguasa terakhir Majapahit, Raja Girindrawardhana (menurut sumber Jawa), menghadapi yang tak terhindarkan: sekitar 1527, Kesultanan Demak yang muncul (dipimpin oleh pangeran Jawa Muslim) menaklukkan Trowulan, secara efektif mengakhiri kerajaan Majapahit.

Ketika saya berdiri di reruntuhan istana Majapahit di Trowulan, matahari terbenam mewarnai langit dengan warna oranye dan merah. Saya membayangkan bagaimana 500 tahun yang lalu, di tempat ini berdiri istana megah, dengan raja dan bangsawan yang mengenakan pakaian mewah, dengan upacara Hindu yang rumit, dengan perpustakaan berisi manuskrip lontar. Dan kemudian semuanya hilang, digantikan oleh kesultanan Islam.

"Tapi," kata Bu Dewi, seolah membaca pikiran saya, "Majapahit tidak benar-benar mati. Warisannya hidup. Bahasa kita, sastra kita, seni kita, bahkan moto nasional kita, Bhinneka Tunggal Ika, semua datang dari Majapahit. Dan di Bali, budaya Hindu-Majapahit terus hidup hingga hari ini."

Warisan Abadi: Bagaimana Kerajaan Hindu Membentuk Indonesia Modern

Bali: Di Mana Masa Lalu Masih Hidup

Perjalanan saya tidak akan lengkap tanpa mengunjungi Bali, satu-satunya tempat di Indonesia di mana budaya Hindu-Buddha dari kerajaan kuno masih dipraktikkan sepenuhnya. Ketika pesawat saya mendarat di Denpasar, saya langsung merasakan perbedaannya. Candi-candi Hindu ada di mana-mana, persembahan bunga dan dupa di setiap sudut jalan, dan orang-orang mengenakan pakaian tradisional untuk upacara.

"Bali adalah museum hidup peradaban Majapahit," kata Pak Made, seorang pendeta Hindu yang saya temui di Pura Besakih, candi terbesar di Bali. "Ketika Majapahit jatuh dan Islam mengambil alih Jawa, banyak bangsawan, pendeta, dan seniman Majapahit melarikan diri ke Bali. Mereka membawa budaya mereka, agama mereka, tradisi mereka."

"Di Bali," lanjutnya sambil menunjuk ke candi yang megah di lereng Gunung Agung, "kami masih melakukan upacara seperti yang dilakukan di istana Majapahit 600 tahun yang lalu. Kami masih menggunakan bahasa Jawa Kuno dalam mantra kami. Kami masih memiliki sistem kasta Brahmana, Ksatria, Wesia, Sudra yang dibawa dari Jawa."

Saya menghadiri upacara Odalan di sebuah pura desa. Gamelan bermain, penari-penari dalam kostum emas berputar-putar, persembahan buah dan bunga dipersembahkan kepada dewa. "Ini bukan hanya agama," kata Pak Made. "Ini adalah warisan hidup dari kerajaan Hindu kita."

Bahasa: Kata-Kata Sanskerta dalam Bahasa Indonesia

Pengaruh kerajaan Hindu juga sangat terasa dalam bahasa Indonesia. Dr. Rina, seorang linguist yang saya temui di Universitas Indonesia, menjelaskan: "Bahasa Indonesia modern penuh dengan kata pinjaman Sanskerta yang diperkenalkan selama periode Hindu."

Dia memberikan beberapa contoh: "Kata 'bahasa' sendiri berasal dari bahasa Sanskerta 'bhāṣā'. 'Negara' dari 'nagara'. 'Budaya' dari 'buddhayah'. 'Bangsa' dari 'vaṃśa'. 'Kota' dari 'koṭa'. 'Agama' dari 'āgama'. 'Suka' dari 'sukha'. Bahkan kata 'guru', 'siswa', 'pustaka', 'aksara', semua dari Sanskerta!"

"Lebih dari itu," lanjutnya, "struktur sastra kita, konsep kita tentang kerajaan dan kekuasaan, banyak dari filosofi kita, semua dipengaruhi oleh teks-teks Sanskerta yang dibawa oleh kerajaan Hindu."

Seni dan Arsitektur: Dari Candi hingga Wayang

Ribuan candi yang tersebar di seluruh Indonesia dari Sumatra hingga Maluku berbicara tentang warisan arsitektur yang abadi. Borobudur dan Prambanan adalah Situs Warisan Dunia UNESCO, menarik kekaguman internasional terhadap peradaban kuno Indonesia.

"Struktur-struktur ini mempengaruhi arsitektur religius kemudian," kata seorang arkeolog yang saya wawancarai. "Misalnya, candi Bali dengan menara meru yang tinggi dan gerbang terbelah mereka adalah keturunan dari arsitektur candi Majapahit. Orang Bali menghormati Majapahit dan bahkan mengklaim keturunan dari pengungsinya."

Wayang kulit, bentuk seni boneka bayangan yang khas Indonesia, berakar pada era Hindu-Buddha. Cerita-cerita yang diceritakan dalam wayang, Ramayana dan Mahabharata, adalah epos India yang dilokalisasi di Jawa. "Wayang adalah cara nenek moyang kita mengadaptasi budaya India menjadi milik mereka sendiri," kata seorang dalang (master wayang) yang saya temui di Solo.

Konsep Kerajaan dan Kekuasaan

Ide-ide politik dari kerajaan Hindu juga mempengaruhi konsep kekuasaan Indonesia selanjutnya. Konsep devaraja (raja-dewa), di mana raja adalah perwujudan ilahi, bertahan melalui kesultanan Islam dan bahkan ke era modern.

"Presiden Sukarno, pendiri Indonesia modern, dengan sadar menggunakan simbolisme Majapahit," kata seorang sejarawan politik. "Dia melihat dirinya sebagai pewaris raja-raja besar Indonesia. Bahkan sekarang, politisi Indonesia sering menggunakan referensi ke kerajaan kuno untuk melegitimasi diri mereka."

Ide tentang Nusantara (kepulauan), sebagai satu kesatuan politik, juga berasal dari Majapahit. "Nasionalis Indonesia pada abad ke-20 membangkitkan Majapahit sebagai pendahulu negara Indonesia," jelas sejarawan itu. "Mereka berargumen bahwa karena Majapahit pernah menyatukan kepulauan, Indonesia modern juga harus bersatu."

Kesimpulan: Perjalanan yang Mengubah Pemahaman Saya

Ketika saya menyelesaikan perjalanan panjang saya menelusuri kerajaan-kerajaan Hindu di Indonesia, dari Prasasti Kutai di Kalimantan hingga reruntuhan Majapahit di Jawa, saya kembali ke Museum Nasional di Jakarta di mana semuanya dimulai.

Saya berdiri lagi di depan replika Prasasti Kutai, tapi kali ini dengan pemahaman yang sama sekali berbeda. Huruf-huruf Pallava yang dulunya asing sekarang menceritakan kisah yang kaya: kisah tentang bagaimana India dan Indonesia bertemu dan menciptakan sesuatu yang unik, tentang bagaimana raja-raja kita membangun kerajaan yang bersaing dengan kekuatan-kekuatan besar Asia, tentang bagaimana pedagang dari seluruh dunia datang ke pelabuhan kita, tentang bagaimana seniman dan penyair kita menciptakan karya-karya yang masih dikagumi hingga hari ini.

Perjalanan ini telah mengajarkan saya bahwa sejarah Indonesia jauh lebih kaya dan lebih kompleks daripada yang diajarkan di sekolah. Kita cenderung melompat dari sejarah prasejarah langsung ke era kesultanan Islam, seolah-olah tidak ada yang penting terjadi di antaranya. Tapi seribu tahun kerajaan Hindu-Buddha adalah periode yang membentuk fondasi budaya Indonesia.

Dari Kutai di abad ke-4 yang memperkenalkan konsep kerajaan Hindu, hingga Sriwijaya yang menguasai perdagangan maritim selama berabad-abad, hingga Mataram yang membangun Borobudur dan Prambanan, hingga Majapahit yang menyatukan hampir seluruh Nusantara, setiap kerajaan ini berkontribusi pada warisan kita.

Mereka memberi kita bahasa yang diperkaya dengan Sanskerta. Mereka memberi kita konsep tentang kerajaan dan tata pemerintahan. Mereka memberi kita seni dan arsitektur yang menakjubkan. Mereka memberi kita sastra dan filosofi. Mereka memberi kita moto nasional kita, Bhinneka Tunggal Ika. Dan yang paling penting, mereka memberi kita ide bahwa kepulauan yang luas ini bisa menjadi satu kesatuan.

"Kerajaan Hindu Indonesia mungkin telah jatuh pada abad ke-16," kata pemandu museum ketika saya berpamitan, "tapi warisan mereka tidak akan pernah mati. Setiap kali Anda mengucapkan kata Sanskerta, setiap kali Anda melihat candi kuno, setiap kali Anda menonton wayang, setiap kali Anda melihat bendera Indonesia dengan motonya Bhinneka Tunggal Ika, Anda menyaksikan warisan hidup dari kerajaan-kerajaan Hindu yang megah ini."

Catatan Penulis: Perjalanan saya menelusuri kerajaan-kerajaan Hindu Indonesia telah mengubah cara saya memandang negara saya sendiri. Saya menyadari bahwa Indonesia bukan hanya produk dari kolonialisme Belanda atau perjuangan kemerdekaan abad ke-20. Indonesia adalah pewaris dari tradisi peradaban yang panjang dan mulia, yang dimulai lebih dari 1.600 tahun yang lalu. Kerajaan-kerajaan Hindu ini menunjukkan bahwa nenek moyang kita bukan hanya petani atau nelayan sederhana. Mereka adalah pembangun kerajaan, pelaut yang berani, arsitek yang jenius, penyair yang berbakat, dan pemikir yang dalam. Mereka menciptakan peradaban yang setara dengan peradaban-peradaban besar dunia lainnya. Memahami sejarah kerajaan Hindu ini bukan hanya tentang menghargai masa lalu. Ini tentang memahami siapa kita sebagai bangsa, dari mana kita berasal, dan potensi besar yang kita miliki. Jika nenek moyang kita bisa membangun Borobudur tanpa teknologi modern, jika mereka bisa menciptakan kerajaan yang membentang dari Sumatra hingga Papua, jika mereka bisa menghasilkan sastra dan seni yang masih dikagumi hingga hari ini, bayangkan apa yang kita, sebagai pewaris mereka, bisa capai di masa depan.