Suku Kajang: Kehidupan di Balik Pakaian Hitam dan Ritual Linggis Membara

3 Nov 2025

Suku Kajang merupakan salah satu suku tradisional yang bermukim di Sulawesi Selatan, letaknya dua ratus kilometer ke arah timur kota Makassar. Suku ini bermukim di Desa Tana Toa, Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan. Tana Toa berarti tanah yang tertua. Nama ini lahir berdasarkan kepercayan Suku Kajang bahwa lokasi pemukiman yang sekarang mereka huni diyakini sebagai tempat pertama kalinya Ammatoa diturunkan oleh Tuhan.

Ammatoa merupakan sebutan bagi manusia Kajang pertama (sesepuh) yang mendirikan komunitas Suku Kajang sekaligus pemimpin tertinggi mereka.

Masyarakat Tana Toa percaya bahwa bumi ini adalah warisan nenek moyang yang berkualitas dan seimbang. Oleh karena itu, anak cucunya harus mendapatkan warisan tersebut dengan keadaan yang baik. Kepercayaan inilah yang membuat lingkungan di Tana Toa terjaga kelestariannya.

Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, masyarakat adat memegang teguh ajaran leluhur yang disebut Pasang. Ajaran tersebut berisi panduan hidup Suku Kajang dalam segala aspek kehidupan. Pasang dianggap sebagai Pesan Tuhan yang dititipkan lewat Ammatoa. Mereka berkeyakinan bahwa apabila mereka melanggar Pasang yang ada, berbagai macam hal buruk akan terjadi dalam kehidupan mereka. 


Pakaian Hitam Suku Kajang

Suku Kajang mempunyai ciri khas khusus dengan pakaian serba hitam, memakai sorban warna hitam dan tanpa alas kaki, walau panas terik matahari, atau berjalan ke kota sekalipun. 

Menurut Suku Kajang, warna hitam memiliki makna persamaan, persatuan dalam segala hal, dan kesederhanaan. Warna hitam dianggap sebagai penangkal marabahaya karena dianggap mengandung kekuatan serta derajat sang pemilik jagat raya.

Pakaian dengan warna merah sangat diharamkan di wilayah suku ini.  Oleh karenanya seragam sekolah di suku kajang pun menyesuaikan dengan adat yang berlaku, di mana sekolah dasar memakai atasan putih dan bawahan hitam, tidak seperti di daerah lain pada umumnya yang mengenakan atasan putih dan bawahan merah. 

Uniknya, ketika berkunjung ke suku kajang, para tamu diharuskan untuk memakai pakaian serba hitam juga, untuk menghormati adat dan kebudayaan setempat.



Baku’ Puli Dumpi Eja 

Dumpi eja merupakan salah satu kuliner khas suku Kajang yang terdapat di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Dumpi eja artinya kue merah. Bahan bakunya sangat sederhana, hanya terdiri dari beras ketan yang dicampur bersama gula merah. Hidangan ini memiliki tekstur yang lembut dan kenyal, serta memiliki rasa yang manis dari gula aren. Oleh karena itu, kue tradisional ini begitu nikmat jika disantap dalam keadaan hangat.

Dalam tradisi pernikahan Suku Kajang, Dumpi Eja merupakan salah satu kue yang wajib ada, sebab kue ini akan dijadikan sebagai pelengkap dalam seserahan yang disebut sebagai baku’ puli, seserahan dari mempelai laki-laki ke mempelai perempuan. Dumpi Eja dimaknai sebagai sajian manis yang dianggap dapat mempersatukan perasaan bahagia dan mengikat rasa kasih sayang bagi kedua calon mempelai.

Dumpi Eja merupakan salah satu kue yang wajib ada, sebab kue ini akan dijadikan sebagai pelengkap dalam seserahan yang disebut sebagai baku’ puli,

Masyarakat Suku Kajang memiliki tradisi berebut kue Dumpi Eja pada acara pernikahan adat yang masih lestari hingga saat ini. Menurut mereka, kue Dumpi Eja wajib dimakan dalam acara pernikahan adat, khususnya bagi mereka yang masih gadis atau bujang, karena dipercaya akan mendatangkan jodoh.

Oleh karena itu, Dumpi Eja dalam tradisi pesta pernikahan di Suku Kajang dibuat dalam jumlah yang sangat banyak. Untuk membuatnya, minimal disiapkan 10 kilogram adonan untuk memastikan semua warga yang hadir dalam acara pernikahan kebagian semua.


Ritual Ekstrim attunu panroli

Suku Kajang memiliki ritual yang unik sekaligus membahayakan, salah satunya adalah “attunu panroli”. Ritual ini biasanya dilakukan ketika terdapat suatu masalah, seperti halnya ketika terjadi kasus pencurian di tengah pemukiman masyarakat adat. Ritual ini dilakukan dengan cara memegang linggis yang telah dibakar hingga membara dengan tangan kosong. Tujuan dari ritual tersebut adalah sebagai wadah mengetes kejujuran masyarakatnya.

Seluruh masyarakat wajib kumpul tanpa terkecuali mereka yang diduga sebagai pelaku pencurian di sebuah lapangan tempat upacara adat itu digelar. Upacara sendiri dipimpin langsung oleh ketua adat yang bergelar Ammatoa.

Sebelum upacara adat dimulai, Ammatoa yang memimpin ritual itu pun mengingatkan masyarakat suku Kajang yang hadir bahwa linggis ini tidak akan pernah terasa panas jika dipegang oleh seseorang yang bersifat jujur. Tapi jika sedikit pun ia tak jujur maka linggis panas ini akan melumat tangannya. Peringatan itu disampaikan oleh Ammatoa sembari mempertontonkan dengan memegang linggis panas tersebut di hadapan masyarakat adat dan mereka yang dicurigai sebagai maling.

Jika pelaku pencurian kabur dari upacara attunu panroli, maka para sesepuh adat akan berkumpul dan mengucapkan mantra yang ditujukan langsung kepada pencuri tersebut, sehingga nantinya orang tersebut mengalami sakit hingga berakhir dengan kematian.