Budaya Peranakan Tionghoa di Indonesia: Perkembangan Historis dan Pengaruhnya

3 Nov 2025

Ketika saya pertama kali berjalan di kawasan Glodok, Jakarta, atau menyusuri jalanan tua di Semarang dan Lasem, saya merasakan sesuatu yang unik. Ada aroma dupa dari klenteng bercampur dengan bau rempah-rempah dari warung, ada tulisan Tionghoa di papan toko bersebelahan dengan batik Jawa, ada suara gamelan yang entah bagaimana berirama dengan musik tradisional Tiongkok. Di sinilah saya mulai memahami kedalaman dan kekayaan budaya Peranakan Tionghoa di Indonesia.

Kehadiran komunitas Tionghoa di Nusantara bukanlah fenomena baru. Ini adalah kisah yang telah berlangsung selama berabad-abad, sebuah narasi tentang migrasi, adaptasi, dan pencampuran budaya yang menghasilkan sesuatu yang benar-benar unik. Catatan Tiongkok menyebutkan kontak sejak abad pertama dan kedua, menunjukkan hubungan perdagangan antara kerajaan Indonesia kuno dan Tiongkok.

Migrasi yang signifikan dimulai pada era Majapahit dan diperkuat dengan pelayaran Laksamana Zheng He (Cheng Ho) pada awal abad ke-15. Ma Huan, kronikawan Zheng He, mencatat pemukiman Tionghoa yang sudah mapan di sepanjang pantai timur Sumatra dan pantai utara Jawa selama ekspedisi Dinasti Ming. Para migran awal ini sering adalah Huashang (pedagang) yang tinggal sementara, menunggu angin musim untuk kembali ke rumah.

Namun yang membuat saya paling terpesona adalah bagaimana komunitas Tionghoa ini tidak hanya tetap mempertahankan identitas mereka, tetapi juga melebur dengan budaya lokal, menciptakan apa yang kita kenal sebagai budaya Peranakan Tionghoa. Ini bukan sekadar koeksistensi dua budaya, tetapi kelahiran budaya ketiga yang unik, yang menggabungkan elemen terbaik dari kedua dunia.

Dalam artikel ini, saya akan mengajak Anda menjelajahi perjalanan luar biasa komunitas Peranakan Tionghoa di Indonesia. Dari sejarah migrasi dan pemukiman mereka, pencampuran budaya yang menghasilkan kuliner, fashion, dan kepercayaan yang unik, dampak ekonomi dan sosial yang luar biasa, hingga adaptasi modern dan upaya pelestarian warisan mereka. Ini adalah kisah tentang bagaimana sebuah komunitas minoritas telah memberikan kontribusi yang tak ternilai bagi kekayaan budaya Indonesia.

Migrasi dan Pemukiman Komunitas Tionghoa di Indonesia

Kontak Awal dan Gelombang Migrasi

Ketika saya mempelajari sejarah Tionghoa di Indonesia, saya menyadari bahwa hubungan ini telah terjalin jauh lebih lama dari yang kebanyakan orang bayangkan. Kontak awal antara Tiongkok dan Nusantara dapat dilacak hingga abad-abad pertama Masehi, ketika jalur perdagangan maritim mulai menghubungkan kerajaan-kerajaan Nusantara dengan Tiongkok.

Namun, gelombang migrasi yang signifikan dimulai pada masa kemudian. Pada era Majapahit, sudah ada catatan tentang pedagang Tiongkok yang menetap di pelabuhan-pelabuhan Jawa. Kemudian, pada awal abad ke-15, pelayaran megah Laksamana Zheng He membawa perhatian lebih besar pada Nusantara. Armada besar Zheng He tidak hanya membawa barang dagangan, tetapi juga membuka jalan bagi lebih banyak orang Tiongkok untuk datang dan menetap di wilayah ini.

Para migran awal ini kebanyakan adalah pedagang yang datang untuk mencari nafkah. Mereka akan tinggal sementara di pelabuhan-pelabuhan Nusantara, menunggu angin musim yang tepat untuk berlayar kembali ke Tiongkok. Namun seiring waktu, banyak yang memutuskan untuk menetap permanen, terutama setelah mereka menikah dengan wanita lokal dan membangun keluarga.

Era Kolonial: Arus Besar Migrasi

Gelombang migrasi besar terjadi di bawah pemerintahan kolonial Belanda pada abad ke-17 hingga ke-19. Ini adalah periode yang sangat menentukan dalam pembentukan komunitas Peranakan Tionghoa di Indonesia. Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) secara aktif mendorong imigrasi Tiongkok ke Batavia (Jakarta) untuk mengembangkan perdagangan dan pertanian.

Pada tahun 1740, populasi Tionghoa di Batavia membengkak menjadi sekitar 10.000 orang, menjadikannya komunitas Tionghoa terbesar di Nusantara, status yang tetap dipertahankan hingga abad ke-21. Yang menarik adalah bagaimana Belanda melihat orang Tionghoa sebagai aset ekonomi yang berharga, tetapi juga sebagai kelompok yang perlu dikendalikan.

Pada tahun 1800-an, kebutuhan Belanda akan tenaga kerja membawa Huagong (buruh) dari Tiongkok selatan, terutama Fujian dan Guangdong. Banyak yang datang sebagai pekerja kontrak untuk perkebunan, pertambangan, dan proyek infrastruktur, khususnya ke pantai timur Sumatra dan tambang timah di Bangka-Belitung.

Yang membuat saya kagum adalah bagaimana para penambang Tiongkok ini bahkan membentuk republik kongsi otonom di wilayah perbatasan. Contohnya adalah Republik Lanfang (1777-1884) di Kalimantan Barat, yang dipimpin oleh penambang Hakka, yang berkembang hingga aneksasi Belanda. Ini menunjukkan betapa organisir dan mandirinya komunitas Tionghoa pada masa itu.

Pembentukan Komunitas Peranakan

Migran Tionghoa awal sebagian besar adalah laki-laki yang sering menikahi wanita lokal, melahirkan komunitas kreol yang dikenal sebagai Peranakan Tionghoa. Istilah "Peranakan" yang berarti keturunan kelahiran lokal, dalam konteks ini mengacu pada orang-orang keturunan campuran Tionghoa dan Indonesia asli.

Pada pertengahan abad ke-19, masyarakat Peranakan yang stabil telah muncul, terutama di kota-kota pelabuhan di sepanjang pantai utara Jawa seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya. Keluarga Sino-Indonesia ini memadukan budaya. Mereka berbicara bahasa Melayu atau bahasa lokal alih-alih dialek Tiongkok, dan mengadopsi banyak adat istiadat lokal.

Seiring generasi, Peranakan menjadi mandiri, dengan imigrasi baru yang menurun dan pernikahan dengan pendatang baru yang lebih sedikit. Kedatangan kemudian yang mempertahankan bahasa dan adat Tiongkok (disebut sebagai Tionghoa Totok) tetap berbeda secara budaya, sedangkan Peranakan digambarkan sebagai "terlalu Tionghoa untuk menjadi Indonesia, dan terlalu Indonesia untuk menjadi Tionghoa."

Identitas hibrida yang unik ini, yang disebut sebagai "masyarakat Tionghoa yang dikreolkan" oleh antropolog G. William Skinner, adalah sesuatu yang baru di Nusantara, mewakili fusi sejati budaya Tiongkok dan lokal. Ini bukan sekadar hidup berdampingan, tetapi penciptaan budaya baru yang benar-benar unik.

Wilayah Pemukiman Utama

Komunitas Peranakan Tionghoa berakar di berbagai bagian Indonesia, masing-masing dengan lintasan historisnya sendiri. Di Jawa, mereka terkonsentrasi di pelabuhan perdagangan pesisir dan kemudian pusat perkotaan, didukung oleh kebijakan kolonial yang mempekerjakan orang Tionghoa sebagai perantara dan pengrajin terampil.

Sumatra melihat pedagang Tiongkok di kerajaan lama seperti Sriwijaya dan masuknya buruh pada akhir abad ke-19 untuk perkebunan tembakau, karet, dan kelapa sawit di Sumatra Timur. Kalimantan Barat dikenal dengan populasi Hakka Tionghoa yang besar dari pemukiman penambangan emas abad ke-18.

Kantong Peranakan yang lebih kecil tetapi signifikan juga muncul di Kepulauan Riau, Bangka-Belitung, Sulawesi seperti Makassar, dan di tempat lain, sering terkait dengan perdagangan regional atau pertambangan. Pada awal abad ke-20, populasi Tionghoa-Indonesia sudah besar dan tersebar luas, namun secara hukum dan sosial mereka dipisahkan di bawah pemerintahan Belanda sebagai kelas yang berbeda antara Eropa dan pribumi.

Hukum kolonial memberlakukan pemisahan, bahkan termasuk pajak khusus dan kuarter tempat tinggal, yang menumbuhkan ketidakpercayaan antara etnis Tionghoa dan komunitas pribumi. Meskipun ada tantangan ini, Peranakan Tionghoa menjadi bagian integral dari struktur perkotaan Indonesia dan masyarakat plural.

Pencampuran Budaya dan Sinkretisme

Kuliner: Pengaruh Tionghoa pada Makanan Indonesia

Salah satu pencampuran budaya yang paling terlihat adalah dalam kuliner, di mana teknik dan hidangan Tiongkok di-indigenisasi menjadi makanan Indonesia yang umum sekarang. Ketika saya pertama kali menyadari bahwa mie goreng, bakso, dan lumpia yang saya makan sejak kecil sebenarnya memiliki akar Tiongkok, saya terkejut dan sekaligus kagum dengan bagaimana budaya-budaya ini berbaur dengan mulus.

Pemukim Tiongkok memperkenalkan mie, produk kedelai, dan berbagai metode tumis dan kukus yang diadaptasi orang Indonesia dari waktu ke waktu. Misalnya, mie goreng (mie goreng) dan kwetiau berasal dari hidangan mie goreng Tiongkok. Bakso (sup bakso) berasal dari sup bola daging sapi Tiongkok. Lumpia di Semarang memadukan isian Tiongkok seperti rebung dan udang kering dengan bumbu lokal.

Siomay, pangsit ikan kukus Indonesia dengan saus kacang, berevolusi dari pangsit shumai Tiongkok, disesuaikan dengan selera lokal. Sebaliknya, Peranakan Tionghoa menciptakan hidangan hibrida dengan menerapkan gaya kuliner Tiongkok pada bahan-bahan pribumi.

Contoh klasik adalah Lontong Cap Go Meh, hidangan perayaan yang dimakan pada hari ke-15 setelah Tahun Baru Imlek. Ini menggabungkan lontong (kue beras Jawa) dengan kari kaya dan pendamping, melambangkan perpaduan tradisi Tahun Baru Tiongkok dengan hidangan Jawa. Nama "Cap Go Meh" sendiri (Hokkien untuk malam ke-15) mencerminkan fusi tersebut.

Banyak hidangan "Tionghoa-Indonesia" menggunakan cabai lokal dan rempah-rempah, misalnya menyajikan sambal cabai, acar acar, dan bawang goreng bersama nasi goreng atau hidangan mie Tiongkok. Preferensi rasa regional juga mempengaruhi masakan Tiongkok di Indonesia.

Di Jawa Tengah, hidangan turunan Tiongkok cenderung lebih manis untuk menyesuaikan lidah Jawa, sementara di Jawa Barat lebih asin, dan di Jawa Timur lebih gurih dengan penggunaan petis (pasta udang). Area dengan populasi Totok yang lebih besar, seperti Medan (Sumatra Utara) atau Pontianak (Kalimantan Barat), mempertahankan rasa Tiongkok yang lebih tradisional.

Karena Indonesia adalah negara mayoritas Muslim, banyak resep Tiongkok diadaptasi untuk menjadi halal. Daging babi sering diganti dengan ayam atau daging sapi, dan lemak babi dengan minyak nabati. Misalnya, pedagang kaki lima di Jawa mungkin menjual mie bakmi atau bakpau (roti kukus) dengan isian ayam untuk melayani pelanggan Muslim.

Namun, di Pecinan atau lokasi mayoritas Kristen, orang masih dapat menemukan hidangan babi tradisional seperti babi kecap (babi direbus dalam kedelai manis) dan sate babi (sate babi) yang disiapkan dengan gaya Tiongkok.

Dalam menu Indonesia sehari-hari, kontribusi Tiongkok sangat tertanam. Hidangan seperti nasi goreng (nasi goreng) dan cap cai (tumis sayuran campur) memiliki asal Tiongkok tetapi dianggap sebagai favorit nasional. Banyak makanan ringan dan manisan Indonesia juga menunjukkan pengaruh Tiongkok, seperti kue keranjang (kue beras lengket Tahun Baru) dan kue bulan yang dijual selama Festival Pertengahan Musim Gugur.

Fashion dan Pakaian: Kebaya Encim dan Batik Pesisir

Pakaian adalah ranah lain di mana budaya Peranakan berkembang melalui hibridisasi. Migran Tiongkok di Hindia Belanda secara bertahap mengadopsi kebaya lokal, blus terbuka depan tradisional, dan memasukkannya dengan estetika Tiongkok. Hasilnya adalah kebaya encim (juga dikenal sebagai nyonya kebaya), gaya khas yang dikenakan oleh wanita Peranakan Tionghoa.

Istilah encim/enci adalah kehormatan lokal untuk wanita Tionghoa, maka kebaya encim secara harfiah berarti "kebaya wanita Tionghoa." Pakaian ini menjadi populer di kalangan komunitas Tionghoa di kota-kota pesisir Jawa dengan populasi Tionghoa yang signifikan, seperti Batavia, Cirebon, Semarang, Lasem, Pekalongan, dan Surabaya.

Kebaya encim biasanya terbuat dari kain halus dan ringan, sutra impor, organdy, atau voile, dan menampilkan sulaman kerancang yang halus (renda cutwork) dan warna-warna cerah, tidak seperti kebaya Jawa Tengah aristokrasi yang berwarna tanah dan lebih berat.

Motif Tiongkok seperti peoni, phoenix, dan kupu-kupu sering disulam pada blus ini, mencerminkan simbol keberuntungan dari budaya Tiongkok yang dipadukan ke dalam mode lokal. Wanita Peranakan memasangkan kebaya encim dengan batik pesisiran (sarung batik pesisir) berwarna cerah.

Desain batik pesisir itu sendiri adalah produk seni antarbudaya. Diproduksi di kota-kota pelabuhan Jawa oleh pengrajin Jawa, mereka menggabungkan motif bunga dan mitologis Tiongkok dan menggunakan pewarna pastel yang berani (merah muda, pirus, merah terang) yang disukai oleh pasar Peranakan.

Ansambel kebaya encim yang tipis disulam yang dikenakan di atas rok batik yang cerah, diamankan dengan ikat pinggang perak dekoratif (pending), dan dilengkapi dengan sandal manik-manik (kasut manek) menjadi tampilan ikonik wanita Peranakan.

Pengaruh mode ini tidak tetap terbatas pada komunitas Tionghoa. Di Batavia, orang Betawi menyerap kebaya encim ke dalam pakaian tradisional mereka sendiri. Hari ini kebaya encim dianggap sebagai bagian dari pakaian warisan Betawi, menggambarkan bagaimana inovasi fashion Tionghoa-Indonesia memasuki penggunaan yang lebih luas.

Kepercayaan dan Ritual: Mengintegrasikan Konfusianisme, Taoisme, dan Tradisi Lokal

Kehidupan religius di kalangan Peranakan Tionghoa secara historis bersifat sinkretik, memadukan tradisi spiritual nenek moyang Tiongkok mereka dengan kepercayaan pribumi Indonesia dan, kemudian, dengan pengaruh dari lingkungan kolonial.

Sebagian besar Peranakan menganut beberapa kombinasi "Tiga Ajaran" Tiongkok, Konfusianisme (sebagai kode etik), Taoisme, dan Buddha Tiongkok, sering dipraktikkan dalam bentuk campuran yang dikenal secara lokal sebagai Tridharma.

Nilai-nilai Konfusian tentang kesalehan berbakti dan pemujaan leluhur dipertahankan sebagai ritual keluarga inti, sementara agama rakyat Taoist (pemujaan berbagai dewa dan roh alam) membimbing banyak praktik sehari-hari. Misalnya, rumah Peranakan umumnya memiliki altar leluhur dan mengadakan upacara musiman seperti Cheng Beng (festival penyapuan makam Qingming) untuk menghormati kerabat yang meninggal, mirip dengan tradisi pembersihan kuburan lokal.

Pada saat yang sama, mereka mengadopsi adat (praktik adat lokal) dari wilayah tempat mereka tinggal. Ini menyebabkan hibrida ritual yang unik. Adat pernikahan Jawa dan Tiongkok mungkin digabungkan, atau pesta selamatan Muslim mungkin diadakan bersama upacara doa Tiongkok.

Kuil Tionghoa (Klenteng) dan Roh Lokal: Di daerah dengan populasi Peranakan yang besar, kuil Tiongkok, yang dikenal sebagai klenteng, menjadi pusat pemujaan sinkretik. Kuil-kuil ini tidak hanya menampung dewa-dewa Tiongkok klasik (Guanyin, Buddha, atau dewa Taoist) tetapi kadang-kadang juga roh penjaga lokal.

Contoh terkenal adalah kuil Sam Poo Kong di Semarang, di mana Laksamana Zheng He dipuja sebagai dewa dan petugas Jawa dari legendanya juga dihormati. Di kuil seperti itu, pengunjung Jawa dan Melayu mungkin bergabung dengan pemuja Tionghoa untuk mencari berkah, mengilustrasikan percampuran agama.

Di Bali, integrasi menjadi lebih dalam. Keluarga Peranakan di sana berpartisipasi dalam upacara Hindu Bali, dan imam Bali mengakui kontribusi Tiongkok. Seorang pedanda (imam) Bali pernah menyatakan, "Tiongkok dan Bali tidak dapat dipisahkan. Ada begitu banyak aspek budaya Tiongkok yang telah menjadi bagian dari budaya Bali."

Memang, beberapa tarian Bali menggabungkan gerakan atau elemen kostum yang terinspirasi Tiongkok. Pengaruh timbal balik ini menunjukkan bahwa pemukim Tiongkok menemukan cara untuk menghormati dan bergabung dengan kehidupan agama lokal sambil menjaga tradisi mereka sendiri tetap hidup.

Festival dan Tabu: Peranakan merayakan festival Tiongkok utama, Tahun Baru Imlek, Cap Go Meh (hari ke-15 Tahun Baru), Qingming, Festival Perahu Naga, Festival Pertengahan Musim Gugur, sering dengan sentuhan lokal.

Imlek di Indonesia mungkin termasuk memberikan paket merah dan menyalakan dupa, tetapi juga mengunjungi tetua dan tetangga dari semua latar belakang. Festival Cap Go Meh di Jawa dan Kalimantan Barat menggabungkan pawai di mana barongsai Tiongkok (tarian singa) dan tarian naga turun ke jalan, kadang-kadang diiringi oleh musik gamelan lokal atau diikuti oleh penduduk lokal non-Tionghoa, mencerminkan perayaan bersama.

Seiring waktu, Peranakan Tionghoa juga mengamati pantang larang (aturan tabu lokal) bersama takhayul Tiongkok. Misalnya, hari-hari tertentu dalam kalender Jawa mungkin dianggap tidak menguntungkan untuk bepergian, menggema kepercayaan almanak Tiongkok yang serupa.

Adopsi Islam dan Kristen: Bentuk lain pencampuran terjadi melalui konversi. Di wilayah pesisir Jawa, beberapa Peranakan Tionghoa memeluk Islam beberapa generasi yang lalu, menjadi bagian dari komunitas Muslim lokal sambil mempertahankan keturunan Tiongkok.

Catatan sejarah dari Cirebon mencatat pedagang Tiongkok yang masuk Islam sejak abad ke-15 hingga ke-16, menciptakan komunitas Muslim Tionghoa yang khas. Banyak yang tidak harus masuk Islam untuk menikahi wanita lokal (terutama jika wanita tersebut berasal dari tradisi Islam abangan), tetapi beberapa keturunan akhirnya melakukannya, menghasilkan keluarga yang secara budaya Tionghoa tetapi beragama Muslim.

Dalam waktu yang lebih baru, sejumlah besar Peranakan, terutama di daerah perkotaan, masuk Kristen. Gereja Kristen di Jawa dan Sumatra memiliki jemaat Peranakan pada akhir abad ke-19, dan menggunakan bahasa Melayu (atau kreol yang dikenal sebagai Baba Malay) dalam kebaktian gereja adalah umum.

Konversi ke Kristen memiliki kenyamanan sosial juga. Ini memungkinkan Tionghoa Indonesia untuk berasimilasi tanpa mengadopsi pembatasan diet Islam, sehingga mereka dapat terus makan daging babi, bagian kunci dari masakan Tiongkok, sambil mengintegrasikan ke dalam pendidikan dan jaringan gaya Barat.

Terlepas dari agama formal, banyak orang Kristen dan Muslim Peranakan masih mengamati tradisi budaya seperti peringatan leluhur atau Imlek sebagai adat sekuler, melestarikan warisan Tiongkok mereka dalam identitas agama baru.

Dampak Ekonomi dan Sosial Pedagang Tionghoa-Indonesia

Peran dalam Jaringan Perdagangan dan Perdagangan

Tionghoa Indonesia secara historis memainkan peran penting dalam jaringan perdagangan dan perdagangan Nusantara. Ketika saya mempelajari sejarah ekonomi Indonesia, saya tidak bisa tidak kagum dengan bagaimana komunitas Tionghoa telah menjadi tulang punggung perdagangan sejak zaman kuno.

Sejak masa awal, pedagang Tiongkok adalah perantara kunci dalam ekonomi regional, menghubungkan pulau-pulau penghasil rempah-rempah Indonesia dengan pasar global. Pada abad ke-17, komunitas Tionghoa di Batavia menangani perdagangan signifikan dalam komoditas seperti gula, rempah-rempah, dan produk hutan, mengoperasikan jaringan intra-Asia yang luas yang menghubungkan Jawa, Tiongkok, India, dan seterusnya.

Otoritas kolonial Belanda mengandalkan pemukim Tiongkok untuk pertanian pendapatan dan perdagangan terampil. Banyak orang Tionghoa menjadi petani pajak, rentenir, pemilik toko, dan pengrajin, membentuk tulang punggung komersial kota-kota kolonial. Dalam pengembangan awal Batavia, Belanda menemukan koloni itu "sangat tergantung" pada penduduk Tionghoanya untuk populasi, layanan, dan pendapatan.

Orang Tionghoa mengisi ceruk ekonomi yang tidak diisi orang lain. Mereka mengoperasikan pertanian judi dan candu di bawah lisensi, mengelola tol, dan memasok pemerintah kolonial dengan uang tunai melalui kontrak pajak. Meskipun menguntungkan, peran-peran ini kadang-kadang memicu kebencian di antara orang Jawa asli yang melihat Tionghoa sebagai agen sistem kolonial, yang menyebabkan kekerasan berkala (seperti pembantaian Batavia tahun 1740).

Sepanjang abad ke-19, ketika ekonomi kolonial berkembang, pedagang Tionghoa-Indonesia semakin memantapkan diri mereka dalam perdagangan lokal dan internasional. Mereka menjadi pedagang dan pengangkut utama beras, garam, kopi, dan produk lainnya antara produsen pedesaan dan pasar perkotaan.

Di pedalaman Jawa, jaringan tauke (pedagang) dan pemilik toko Tionghoa memberikan kredit kepada petani (kadang-kadang sebagai lintah darat atau penggadaian) dan mendistribusikan barang, menciptakan jembatan ekonomi ke desa-desa terpencil. Di daerah pesisir dan sungai Sumatra dan Kalimantan, pedagang Tiongkok mengoperasikan armada perahu yang memindahkan produk hutan (karet, rotan, timah, emas) ke pelabuhan, dan mengimpor tekstil, keramik, dan teh dari Tiongkok atau Eropa sebagai imbalannya.

Sistem kapitan (pemimpin komunitas Tionghoa yang ditunjuk oleh Belanda) memfasilitasi jaringan perdagangan ini dengan mengorganisir populasi Tionghoa dan menyelesaikan sengketa, secara efektif memungkinkan perdagangan berkembang di bawah kepemimpinan yang stabil.

Kontribusi pada Seni, Arsitektur, dan Kewirausahaan

Di luar perdagangan, Tionghoa Indonesia telah meninggalkan warisan dalam seni, arsitektur, dan kewirausahaan yang telah memperkaya masyarakat Indonesia. Secara budaya, Peranakan Tionghoa menciptakan bentuk seni baru dengan menggabungkan elemen Tiongkok dan lokal.

Di Batavia (Jakarta) selama akhir abad ke-19, genre musik unik yang disebut Gambang Kromong muncul. Ini menggabungkan instrumen Tiongkok (seperti biola dan seruling yang memainkan melodi pentatonik) dengan gaya keroncong Betawi lokal dan instrumen Barat, menghasilkan orkestra sinkretik yang ceria.

Musik Gambang Kromong sering mengiringi tarian Cokek, tarian sosial di mana penari wanita Peranakan dalam kebaya tampil dengan pasangan pria, mencerminkan pengaruh tarian Tiongkok dan Betawi. Bentuk seni ini disponsori oleh orang Tionghoa kaya di Batavia dan Tangerang dan menjadi andalan pernikahan dan festival Peranakan.

Kontribusi artistik lainnya adalah Wayang Potehi, teater boneka sarung tangan Tiongkok yang menceritakan kisah rakyat, yang telah dilakukan di kuil Pecinan Jawa sejak tahun 1700-an. Meskipun hampir menghilang karena pembatasan budaya masa lalu, upaya kebangkitan baru-baru ini telah membawa pertunjukan Wayang Potehi kembali selama peringatan kuil, menambah tradisi teater boneka Indonesia yang beragam.

Dalam ranah arsitektur, pengaruh Tionghoa-Indonesia terlihat dalam bangunan religius dan sekuler. Ratusan klenteng (kuil Tiongkok) memenuhi Nusantara, banyak di antaranya berusia berabad-abad, menampilkan arsitektur kuil Tiongkok Selatan klasik dengan bahan lokal.

Kuil seperti Kelenteng Ancol di Jakarta atau Seng Bo Kiong di Lasem dicirikan oleh atap berubin dengan atap melengkung ke atas, pilar merah, dan prasasti Tiongkok, tetapi juga menampilkan sentuhan lokal seperti tingkat atap Jawa atau ukiran kayu gaya Melayu.

Patronase Tionghoa diperluas ke bangunan komunitas lainnya. Sekolah, rumah sakit, dan balai pertemuan didirikan oleh masyarakat dermawan Tiongkok pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, sering dengan desain bangunan inovatif yang memadukan Timur dan Barat.

Keluarga Tionghoa-Melayu yang kaya membangun kediaman megah yang mencampur gaya arsitektur. Satu rumah mungkin menampilkan fasad neoklasik Eropa, halaman interior Tiongkok dengan panel berukir, dan tata letak Indonesia yang beradaptasi dengan iklim tropis. Arsitektur Peranakan eklektik ini masih terlihat di situs warisan seperti Tjong A Fie Mansion di Medan atau rumah Majoor Lie Tjoe Hong di Jakarta.

Yang penting, pada awal abad ke-20, beberapa individu Peranakan dilatih sebagai arsitek dan insinyur profesional, berkontribusi langsung pada pembangunan perkotaan Indonesia. Salah satu tokoh tersebut adalah Liem Bwan Tjie, Peranakan generasi keempat di Semarang yang menjadi arsitek terkenal.

Karya Liem pada tahun 1920-an hingga 30-an menggabungkan tren modernis dan motif dekoratif Tiongkok, membantu memperkenalkan gaya Art Deco ke kota-kota kolonial sambil secara halus memasukkan elemen Asia. Bersama dengan arsitek Tiongkok berpendidikan Eropa, komunitas Tionghoa yang kaya mempengaruhi perencanaan kota, misalnya mereka mendanai kuarter Tionghoa, jalan, dan rumah toko yang memberikan banyak kota Indonesia karakter bersejarah yang khas.

Adaptasi Modern dan Pelestarian Warisan Peranakan

Kebijakan Pemerintah dan Perubahan Sikap

Status dan ekspresi budaya Peranakan Tionghoa di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah selama abad yang lalu. Selama masa kolonial Belanda, kebijakan resmi memisahkan etnis Tionghoa sebagai kategori hukum yang berbeda, yang secara paradoks baik melestarikan budaya unik mereka maupun memicu ketidakpercayaan dengan komunitas pribumi.

Setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, ada harapan awal untuk pendekatan yang lebih inklusif. Pemimpin nasionalis awal mengakui Peranakan Tionghoa sebagai bagian dari bangsa baru. Beberapa Peranakan aktif dalam perjuangan kemerdekaan. Namun, politik Perang Dingin dan tekanan internal segera menyebabkan sikap curiga.

Orde Lama di bawah Presiden Sukarno melihat ketegangan karena masalah Tiongkok-Taiwan dan pertanyaan kewarganegaraan ganda untuk Tionghoa Indonesia. Ini memuncak dalam eksodus massal beberapa orang Tionghoa pada tahun 1950-an dan 1960-an, dan sentimen anti-Tionghoa menyala di sekitar kerusuhan kudeta 1965.

Di bawah Orde Baru Presiden Suharto (1966-1998), budaya Tiongkok secara sistematis ditekan dalam upaya untuk memaksa asimilasi. Pada tahun 1967, pemerintah melarang media berbahasa Tionghoa dan perayaan Tionghoa publik, dan mengharuskan Tionghoa Indonesia untuk mengadopsi nama yang terdengar Indonesia.

Pertunjukan wayang potehi, tarian singa, bahkan karakter Tiongkok di papan toko semuanya menghilang dari pandangan publik. Kebijakan ini adalah perpanjangan dari divide et impera kolonial, memperlakukan budaya Tiongkok sebagai asing dan tidak diinginkan di ranah publik.

Peranakan Tionghoa, meskipun secara budaya bercampur dan lama menetap, tidak dibebaskan dari pembatasan ini. Selama sekitar tiga dekade, Tionghoa-Indonesia hanya dapat mempraktikkan tradisi mereka secara pribadi atau melalui Tridharma yang disahkan secara resmi.

Pembalikan dramatis datang setelah jatuhnya Suharto pada tahun 1998. Di era Reformasi, pemerintah Indonesia pindah untuk mengakui dan melindungi keragaman budaya bangsa, termasuk Tionghoa Indonesia. Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memimpin perubahan.

Pada tahun 2000 ia menghapus larangan tampilan publik budaya Tiongkok, mengangkat pembatasan puluhan tahun. Tahun Baru Imlek, yang telah dirayakan diam-diam di rumah, sekali lagi dirayakan secara terbuka dengan tarian singa dan lentera di jalan-jalan kota.

Segera setelah itu, Presiden Megawati mengeluarkan keputusan yang mengakui Imlek sebagai hari libur nasional resmi dimulai pada tahun 2003. Konfusianisme (Konghucu) dipulihkan sebagai salah satu agama Indonesia yang diakui, memungkinkan kuil dan institusi Konfusian beroperasi dengan bebas.

Kebangkitan dan Keberlanjutan Festival dan Tradisi

Dibebaskan dari kendala masa lalu, budaya Peranakan telah melihat kebangkitan dinamis pada abad ke-21. Festival Tiongkok sekarang dirayakan dalam skala besar di banyak kota Indonesia, sering dengan dukungan dari otoritas lokal sebagai dorongan untuk pariwisata budaya dan pelestarian warisan.

Imlek (Tahun Baru Imlek) bukan hanya hari libur nasional tetapi juga kesempatan untuk acara nasional. Mal perbelanjaan di Jakarta dan Surabaya memasang tampilan lentera merah. Stasiun TV menyiarkan acara khusus Tahun Baru Imlek. Presiden dan pejabat lainnya menghadiri perayaan Imlek nasional yang diselenggarakan oleh dewan Konfusian.

Rombongan tarian singa barongsai yang pernah dilarang sekarang tampil secara teratur dalam pawai, kompetisi, dan bahkan di perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia, melambangkan betapa terintegrasinya budaya Tiongkok telah menjadi.

Contoh yang sangat hidup adalah festival Cap Go Meh (hari kelima belas Tahun Baru) di kota-kota seperti Singkawang (Kalimantan Barat) dan Pontianak. Singkawang, sering disebut "Kota Seribu Klenteng" untuk populasi mayoritas Tionghoanya, telah mendapatkan ketenaran untuk parade Cap Go Meh yang menampilkan tatung, medium roh dalam kesurupan yang melakukan tindakan ketidakterkalahan, bersama puluhan tim tarian naga dan singa.

Festival ini, yang dulunya lokal, sekarang dipromosikan sebagai atraksi budaya nasional. Dalam festival Cap Go Meh Pontianak 2025, Pelaksana Tugas Walikota mencatat bahwa itu "berkontribusi pada pelestarian budaya" sambil mendorong ekonomi lokal, menarik ribuan pengunjung dan melibatkan lebih dari 60 stan makanan dan kerajinan lokal.

Pemerintah Kalimantan Barat dan Kementerian Pariwisata Indonesia secara aktif mendukung acara semacam itu, menampilkannya sebagai bagian dari warisan kaya Indonesia. Festival ini tidak hanya menghibur tetapi juga "memperkuat harmoni di antara kelompok etnis yang berbeda," karena orang-orang dari semua latar belakang hadir dan berpartisipasi.

Perayaan serupa terjadi di Jawa. Di Pecinan Semarang, Pasar Imlek (pameran pasar Tahun Baru) selama seminggu telah diadakan setiap tahun sejak awal tahun 2000-an, menghidupkan kembali kuarter Tionghoa yang dulunya tidak aktif dengan lentera, pertunjukan budaya, dan pameran kuliner.

Upaya untuk melestarikan warisan Peranakan juga mengambil bentuk institusional. Museum dan pusat warisan telah didirikan untuk mendokumentasikan sejarah Tionghoa-Indonesia, misalnya Museum Warisan Tionghoa Peranakan di Kota Tua Jakarta dan Pusat Warisan Tionghoa Indonesia (CIHC), yang melakukan proyek sejarah lisan yang melestarikan kisah hidup Peranakan tua.

Distrik pecinan (Pecinan) bersejarah di kota-kota seperti Lasem, Semarang, dan Surabaya sedang direvitalisasi. Rumah dan kuil Tionghoa tua dipulihkan sebagai landmark budaya. Pemerintah Jawa Tengah bahkan telah mengusulkan Lasem, pelabuhan kuno dengan akar Tiongkok yang dalam, sebagai desa warisan untuk mempromosikan pariwisata budaya.

Organisasi pendidikan dan budaya bekerja untuk memastikan bahwa generasi muda menghargai warisan ini. Kelas bahasa Tiongkok telah dibuka kembali (sering mengajarkan Mandarin, tetapi juga minat dalam bahasa warisan Hakka atau Hokkien tumbuh di kalangan pemuda).

Kesimpulan

Ketika saya merenungkan perjalanan panjang budaya Peranakan Tionghoa di Indonesia, saya merasakan kekaguman yang mendalam terhadap ketahanan dan kreativitas komunitas ini. Dari para pedagang awal yang berani melintasi lautan untuk mencari kehidupan baru, hingga generasi Peranakan yang menciptakan budaya hibrida yang unik, hingga komunitas modern yang berjuang untuk mempertahankan warisan mereka, ini adalah kisah yang penuh dengan tantangan, adaptasi, dan kemenangan.

Budaya Peranakan Tionghoa di Indonesia adalah produk dari berabad-abad migrasi, adaptasi, dan integrasi. Dari pemukim pedagang awal yang menikah dan belajar berbicara bahasa lokal, hingga komunitas kreol yang hidup yang muncul di kota-kota pelabuhan, Peranakan menempa identitas hibrida yang bukan sepenuhnya Tiongkok atau murni Indonesia pribumi, tetapi perpaduan kaya keduanya.

Budaya ini meninggalkan jejak yang tak terhapuskan pada kuliner Indonesia, fashion, bahasa, dan seni, memberikan negara ini makanan favorit dan gaya khas. Pedagang dan pengusaha Tionghoa-Indonesia telah berperan penting dalam ekonomi Nusantara sejak jalur rempah-rempah kuno dan perkebunan gula kolonial, membantu mengembangkan pusat perkotaan dan menghubungkan Indonesia dengan jaringan perdagangan global.

Yang membuat saya paling terkesan adalah bagaimana makanan yang saya makan setiap hari, mie goreng, bakso, lumpia, ternyata adalah hasil dari percampuran budaya yang indah ini. Atau bagaimana kebaya yang dianggap sebagai pakaian tradisional Indonesia sebenarnya memiliki pengaruh kuat dari komunitas Peranakan. Ini menunjukkan betapa terintegrasinya budaya Tionghoa dengan budaya Indonesia.

Perjalanan Peranakan Tionghoa tidak tanpa kesulitan. Periode xenofobia dan kebijakan restriktif, terutama selama Orde Baru, mengancam akan menghapus ekspresi budaya mereka. Namun, ketahanan komunitas menjaga banyak tradisi tetap hidup secara sembunyi-sembunyi, untuk dihidupkan kembali di era reformasi.

Hari ini, komitmen Indonesia terhadap multikulturalisme telah memungkinkan kebangkitan warisan Peranakan Tionghoa. Sekali lagi, pawai Tahun Baru Imlek memenuhi jalan-jalan, wanita berkebaya memasak resep Peranakan, dan orang muda dengan bangga melakukan tarian singa, aktivitas yang satu generasi yang lalu harus disembunyikan.

Pengakuan pemerintah (seperti hari libur nasional dan upaya konservasi warisan) dan inisiatif masyarakat (museum, proyek sejarah lisan) bekerja bersama untuk melestarikan warisan unik ini. Ini adalah kemenangan besar bukan hanya untuk komunitas Tionghoa, tetapi untuk Indonesia sebagai bangsa yang merangkul keragaman.

Dalam arti yang lebih luas, pengalaman Peranakan Tionghoa di Indonesia mencontohkan kekuatan pencampuran budaya. Nilai-nilai keluarga Konfusian menemukan kesamaan dengan rasa hormat Jawa terhadap tetua. Festival Taoist dilokalisasi dan dirayakan berdampingan dengan ritual pribumi. Hasilnya adalah mosaik sinkretik yang menambah kedalaman peradaban Indonesia.

Di wilayah dari Jawa hingga Kalimantan, kita melihat variasi pada tema ini, setiap budaya Peranakan lokal beradaptasi dengan lingkungannya namun terhubung oleh nenek moyang dan adat bersama. Pertukaran antarbudaya ini memperkaya semua pihak. Tari dan musik Indonesia menyerap elemen Tiongkok, sama seperti masakan Tiongkok di Indonesia menggabungkan rempah-rempah lokal, menciptakan bentuk baru yang sekarang menjadi harta nasional.

Ke depan, pengaruh jangka panjang budaya Peranakan Tionghoa terus berkembang. Ketika komunitas Tionghoa Indonesia menjadi lebih terasimilasi secara linguistik dan sosial, tugasnya adalah untuk memastikan bahwa tradisi yang khas tidak hilang dalam homogenisasi.

Mendorong kebanggaan dalam warisan Peranakan di kalangan Tionghoa-Indonesia yang lebih muda, dan mempromosikan pemahaman di antara populasi yang lebih luas, akan menjadi kunci. Sejauh ini, tanda-tandanya positif. Budaya Peranakan semakin dilihat sebagai untaian integral dalam permadani budaya Indonesia, dirayakan oleh orang Indonesia dari semua latar belakang etnis.

Dalam merayakan warisan Peranakan, Indonesia tidak hanya menghormati kontribusi generasi masa lalu Tionghoa-Indonesia tetapi juga memperkuat ideal persatuan dalam keberagaman (Bhinneka Tunggal Ika) yang mendefinisikan bangsa.

Bagi saya pribadi, mempelajari budaya Peranakan Tionghoa telah membuka mata saya terhadap kompleksitas dan kekayaan masyarakat Indonesia. Ini mengingatkan saya bahwa identitas nasional kita bukan sesuatu yang statis atau monolitik, tetapi sesuatu yang dinamis dan beragam, terus berkembang melalui interaksi berbagai kelompok.

Warisan Peranakan mengajarkan kita bahwa perbedaan bukan ancaman tetapi aset. Bahwa dari pertemuan berbagai budaya dapat lahir sesuatu yang baru dan indah. Bahwa kita semua, terlepas dari latar belakang etnis kita, adalah bagian dari narasi Indonesia yang lebih besar.

Semoga ke depan, kita terus merayakan dan melestarikan keragaman budaya ini. Semoga generasi muda, baik Tionghoa maupun non-Tionghoa, terus belajar dan menghargai warisan Peranakan. Semoga festival-festival tetap hidup, kuil-kuil terawat, resep-resep tradisional terus dimasak, dan cerita-cerita nenek moyang terus diceritakan.

Karena dalam pelestarian budaya Peranakan Tionghoa, kita melestarikan sebagian dari jiwa Indonesia itu sendiri. Ini adalah pengingat bahwa kekuatan kita terletak dalam keberagaman kita, dan bahwa dari percampuran berbagai tradisi, kita dapat menciptakan sesuatu yang lebih kaya dan lebih indah daripada yang bisa dicapai oleh satu budaya saja.

Ini adalah pelajaran yang tidak hanya relevan untuk Indonesia, tetapi untuk dunia. Di era globalisasi di mana budaya-budaya semakin bertemu dan berinteraksi, pengalaman Peranakan Tionghoa menunjukkan bahwa pencampuran budaya, jika dilakukan dengan rasa hormat dan keterbukaan, dapat menghasilkan harmoni dan kreativitas yang luar biasa.

Terima kasih kepada para leluhur Peranakan yang telah membangun jembatan antara dua dunia. Terima kasih kepada generasi sekarang yang terus menjaga api warisan ini tetap menyala. Dan semoga generasi mendatang akan terus merayakan dan memperkaya tradisi indah ini, menjadikannya bagian hidup dari Indonesia yang terus berkembang.