Pengaruh Kolonial Portugis di Indonesia: Sebuah Narasi Historis Kronologis

3 Nov 2025

Pendahuluan

Ketika kita berbicara tentang kolonialisme di Indonesia, nama Belanda selalu muncul pertama kali dalam ingatan kolektif bangsa. Namun, tahukah Anda bahwa jauh sebelum VOC menancapkan kekuasaannya, ada bangsa Eropa lain yang telah lebih dahulu menginjakkan kaki di Nusantara? Ya, Portugis adalah pelopor kolonialisme Eropa di Indonesia, membuka babak baru dalam sejarah maritim dan perdagangan rempah-rempah yang mengubah wajah dunia.

Perjalanan panjang Portugis di Nusantara dimulai pada awal abad ke-16, tepatnya tahun 1511, ketika Afonso de Albuquerque menaklukkan Malaka. Dari sinilah kisah panjang tentang ambisi, perebutan rempah-rempah, penyebaran agama, dan pertukaran budaya dimulai. Meski kehadiran politik mereka relatif singkat dibandingkan Belanda, jejak Portugis masih bisa kita rasakan hingga hari ini dalam bahasa, musik, makanan, dan kepercayaan sebagian masyarakat Indonesia.

Dalam artikel ini, saya akan mengajak Anda menelusuri jejak Portugis di Indonesia dari masa kedatangan mereka, dinamika politik dan militer, dampak ekonomi dan perdagangan, pengaruh agama dan budaya, hingga kemunduran dan warisan yang mereka tinggalkan. Mari kita selami sejarah yang sering terlupakan ini dengan perspektif yang lebih mendalam.

Kedatangan dan Pendirian Kekuasaan (1511-1600)

Penaklukan Malaka: Pintu Gerbang Menuju Nusantara

Tanggal 10 Agustus 1511 menjadi penanda bersejarah bagi Asia Tenggara. Pada hari itu, pasukan Portugis di bawah komando Afonso de Albuquerque berhasil merebut Malaka, pelabuhan perdagangan terpenting di kawasan tersebut. Malaka bukan sekadar kota pelabuhan biasa. Ia adalah jantung perdagangan rempah-rempah, gerbang strategis yang menghubungkan Samudra Hindia dengan Laut Cina Selatan, tempat bertemunya pedagang dari berbagai penjuru dunia.

Seorang pejabat Portugis kala itu mengatakan dengan penuh percaya diri, "Siapa pun yang menguasai Malaka, ia mencekik leher Venesia." Pernyataan ini bukan tanpa alasan. Dengan menguasai Malaka, Portugis dapat mengendalikan jalur perdagangan rempah-rempah yang selama ini dikuasai oleh pedagang Muslim dan Venesia. Ini adalah langkah strategis untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah dari sumbernya langsung ke Eropa.

Setelah merebut Malaka, Albuquerque segera membentengi kota tersebut dan menjadikannya basis untuk ekspansi lebih lanjut ke timur. Sultan Mahmud Shah yang tergulingkan melarikan diri ke Johor dan Bintan, mencoba berkali-kali merebut kembali kota tersebut, namun semua upayanya gagal. Dari Malaka inilah, Portugis mulai mengirim ekspedisi ke timur untuk menemukan sumber langsung rempah-rempah yang legendaris itu, yaitu Kepulauan Maluku atau yang mereka sebut sebagai Spice Islands.

Perjalanan Pertama ke Kepulauan Rempah

Tidak sampai setahun setelah penaklukan Malaka, kapal-kapal Portugis sudah berlayar menuju timur mencari sumber langsung cengkeh, pala, dan bunga pala. Pada tahun 1512, kapten-kapten Portugis seperti António de Abreu dan Francisco Serrão berhasil mencapai Kepulauan Maluku, menjadikan Portugis sebagai bangsa Eropa pertama yang tiba di wilayah yang kini menjadi bagian dari Indonesia.

Kedatangan mereka disambut dengan beragam sikap oleh para penguasa lokal. Di Maluku, mereka menemukan situasi politik yang terfragmentasi dengan kesultanan-kesultanan penghasil rempah yang saling bersaing, terutama Ternate dan Tidore. Sultan Bayan Sirrullah dari Ternate melihat kedatangan Portugis sebagai peluang untuk mendapatkan keunggulan atas rivalnya. Pada tahun 1522, ia mengizinkan Portugis membangun benteng permanen di Ternate yang diberi nama Benteng São João Baptista.

Benteng ini menjadi basis pertama Portugis di Indonesia dan pusat perdagangan cengkeh. Melalui kombinasi aliansi dan kadang-kadang penggunaan kekuatan, pada pertengahan abad ke-16, Portugis telah mendirikan jaringan benteng dan pos perdagangan di seluruh Nusantara, mulai dari Malaka, Ternate, Ambon, hingga Solor.

Ekspansi ke Indonesia Timur

Seiring dengan meningkatnya pengaruh mereka, Portugis memperluas jangkauan mereka melampaui Maluku. Mereka melakukan kontak dengan komunitas-komunitas di Sulawesi Utara dan menjelajahi Kepulauan Sunda Kecil untuk mencari komoditas baru. Pada tahun 1522, mereka bahkan mencoba mendapatkan pijakan di Jawa Barat dengan membuat perjanjian dengan Kerajaan Sunda untuk membangun benteng di Sunda Kelapa (Jakarta) sebagai imbalan perlindungan dari rival Islamnya.

Namun rencana ini gagal total. Pada tahun 1527, koalisi dari kesultanan-kesultanan Muslim Jawa yang sedang berkembang, Demak dan Cirebon, mengusir Portugis dan merebut Sunda Kelapa, mengganti namanya menjadi Jayakarta. Kegagalan ini membuat Portugis lebih memfokuskan perhatian mereka ke arah timur, ke kepulauan-kepulauan Asia Tenggara.

Pada dekade 1540-an hingga 1550-an, penjelajah dan misionaris Dominikan Portugis mulai mengunjungi Flores, Solor, dan Timor untuk memanfaatkan perdagangan kayu cendana dan menyebarkan agama Kristen. Sebuah misi Dominikan didirikan di pulau Solor pada tahun 1561, dan pada tahun 1566 para misionaris membangun benteng batu di sana lengkap dengan kapel, tempat tinggal para frater, dan seminari. Benteng Nossa Senhora da Piedade di Solor ini melindungi kepentingan Portugis di wilayah Timor, dari mana kayu cendana yang berharga diekspor.

Dengan demikian, pada tahun 1600, Portugis telah menciptakan jaringan Indonesia yang sederhana namun strategis. Mereka mengendalikan pelabuhan-pelabuhan kunci seperti Malaka dan Tidore/Ternate untuk rempah-rempah, serta Solor untuk kayu cendana, dan mempertahankan kehadiran di pulau-pulau timur seperti Flores dan Timor.

Perlawanan Pribumi dan Konflik Awal

Sejak awal, ekspansi Portugis menghadapi perlawanan dari penguasa lokal. Penaklukan Malaka telah mengusir Sultan Muslim Mahmud Shah, yang bersama dengan para penerusnya di pengasingan terus berusaha merebut kembali kota tersebut, meski tidak berhasil. Di tempat lain, kekuatan regional membenci para penjajah baru ini. Pada tahun 1513, armada Jawa yang bersekutu dengan Kesultanan Demak menyerang Portugis di Malaka. Meski dapat dipukul mundur, ini menandakan tekad lokal untuk mengusir orang-orang Eropa.

Selama beberapa dekade berikutnya, Kesultanan Aceh di ujung utara Sumatra muncul sebagai musuh tangguh Portugis. Para penguasa Aceh, yang kaya dari perdagangan lada dan sering dibantu oleh keahlian militer Ottoman, melancarkan serangan besar ke Malaka Portugis, terutama pada tahun 1568, dalam upaya menguasai selat tersebut.

Di Maluku pun, hubungan baik awal tidak berlangsung lama. Rakyat Ternate mulai waspada ketika Portugis mulai memaksakan otoritas mereka. Pada tahun 1530, orang-orang Ternate memberontak ketika seorang kapten Portugis dengan sombong mengeksekusi seorang pangeran lokal, sebuah insiden yang menyebabkan pengepungan benteng Portugis. Meskipun diselesaikan sementara melalui negosiasi, ketegangan terus membara dan akan meledak di akhir abad ini.

Dengan demikian, bahkan selama fase "pendirian" (1511-1600), kekuasaan Portugis di Indonesia tidak pernah tanpa tantangan. Ia dibangun melalui kombinasi aliansi dan bentrokan bersenjata, menyiapkan panggung untuk kehadiran kolonial yang penuh gejolak.

Dinamika Politik dan Militer

Pemerintahan dan Aliansi Portugis

Secara politik, Portugis di Indonesia beroperasi melalui kombinasi benteng militer dan aliansi yang dinegosiasikan, bukan melalui kekuasaan teritorial langsung. Kekaisaran Asia mereka, Estado da Índia, diatur dari Goa (India), dan pos-pos lokal dipimpin oleh kapten atau komandan yang ditunjuk oleh mahkota Portugis. Di Maluku misalnya, seorang Kapten Mayor Maluku dipasang untuk memimpin garnisun dan mengelola perdagangan.

Namun, otoritas Portugis di luar tembok benteng mereka sangat bergantung pada pakta dengan penguasa lokal. Mereka sering memperkuat kepala suku yang bersahabat dan memasang garnisun atas persetujuan. Pemerintahan melalui aliansi ini dicontohkan oleh Ternate: awalnya, Portugis dan Sultan Ternate memiliki hubungan kerja sama, dengan Sultan mengizinkan benteng sebagai imbalan dukungan melawan Tidore.

Portugis juga kadang-kadang menikah dengan keluarga elit lokal, memperkuat ikatan politik. Terlepas dari langkah-langkah ini, pemerintahan Portugis tetap rapuh. Administrator kolonial jumlahnya sedikit dan sering kasar dalam perilaku, yang membuat hubungan dengan tuan rumah mereka tegang. Seorang sejarawan mencatat bahwa upaya Portugis untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah Ternate, bersama dengan campur tangan mereka dalam politik lokal dan penginjilan Kristen, membuat hubungan dengan Sultan Muslim menjadi tegang.

Konflik dengan Kerajaan-Kerajaan Pribumi

Abad ke-16 menyaksikan konflik yang sering terjadi antara Portugis dan kerajaan-kerajaan pribumi ketika para pemimpin lokal melawan perambahan Portugis. Di Maluku, aliansi awal dengan Ternate berubah menjadi konflik terbuka. Sultan Hairun dari Ternate (memerintah 1535-1570) berayun antara kerja sama dan perlawanan saat ia mencoba menyeimbangkan pengaruh Portugis.

Kebencian memuncak ketika Hairun dibunuh oleh komandan Portugis pada Februari 1570 selama pembicaraan damai. Tindakan pengkhianatan ini memicu kemarahan Ternate. Putra Hairun, Babullah, menggalang rakyat Ternate dan menyatakan jihad melawan Portugis, bahkan menyatukan rival lamanya Tidore dalam tujuan bersama.

Hasilnya adalah Pengepungan Ternate (1570-1575), perang lima tahun di mana pasukan Babullah mengepung Benteng São João Baptista. Meskipun ada ekspedisi bantuan sesekali dari Goa, garnisun Portugis kelaparan dan terisolasi. Pada Juli 1575, Portugis menyerah. Mereka diizinkan untuk mengevakuasi Ternate, menandai kemenangan mengejutkan bagi seorang sultan Indonesia atas kekuatan Eropa.

Kemenangan Babullah secara efektif mengusir Portugis dari Maluku Utara, mengakhiri 53 tahun kehadiran mereka di Ternate. Kemenangan pribumi ini memiliki konsekuensi yang lebih luas: ia memutus Portugis dari area penghasil cengkeh utama dan menunjukkan batas kekuatan Eropa ketika menghadapi perlawanan lokal yang terorganisir.

Di tempat lain, Aceh di Sumatra adalah musuh tangguh lainnya. Di bawah Sultan Alauddin al-Kahar dan kemudian Sultan Iskandar Muda, Aceh bertempur melawan Portugis berulang kali pada abad ke-16 dan awal abad ke-17. Aceh tidak hanya menyerang Malaka Portugis melalui laut tetapi juga mencari sekutu regional, bahkan meminta bantuan Ottoman untuk mengusir Portugis. Meskipun Malaka bertahan dari serangan-serangan ini, perang yang terus-menerus menguras sumber daya Portugis.

Di Jawa, Portugis menghadapi permusuhan dari kesultanan-kesultanan Islam yang sedang berkembang. Benteng yang mereka coba bangun di Sunda Kelapa dihancurkan oleh Fatahillah dari Demak pada tahun 1527. Namun di Makassar (Sulawesi), Portugis menemukan skenario yang berbeda. Kerajaan Gowa (Makassar) awalnya tidak berkonflik dengan mereka. Bahkan, sepanjang akhir abad ke-16, Makassar tetap terbuka untuk semua pedagang asing. Pedagang Portugis sering mengunjungi pelabuhan Makassar dan membentuk komunitas kecil di sana, menemukan perlindungan di kesultanan Islam yang kuat ini yang senang mendapat keuntungan dari perdagangan bebas.

Kompetisi Eropa: Kedatangan Belanda dan Inggris

Pada awal abad ke-17, dinamika politik bergeser secara dramatis dengan kedatangan kekuatan Eropa baru, terutama Belanda. Belanda, melalui Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) yang didirikan pada tahun 1602, mulai menantang posisi Portugis di seluruh Asia. Armada Belanda yang bersenjata lengkap mulai menyerang benteng-benteng Portugis di Indonesia.

Serangkaian pertempuran laut Belanda-Portugis terjadi sebagai bagian dari Perang Belanda-Portugis yang lebih luas (1601-1661). Pada tahun 1605, armada VOC di bawah Steven van der Hagen merebut benteng Portugis di Ambon, Maluku, dengan bantuan sekutu lokal Hitu. Peristiwa ini mengusir Portugal dari salah satu benteng terakhir mereka di Kepulauan Rempah.

Pada tahun 1606, Spanyol (yang bersatu dengan Portugal di bawah Persatuan Iberia dari 1580 hingga 1640) sempat merebut Ternate dan membantu mengusir Belanda untuk beberapa tahun, tetapi pada tahun 1610 Belanda kembali dengan kekuatan penuh. Portugis, yang sekarang secara efektif berada di bawah pemerintahan Spanyol, tidak dapat mengirim bala bantuan yang memadai. Satu per satu, posisi mereka jatuh: benteng di Solor ditaklukkan oleh Belanda pada tahun 1613, dan VOC secara bertahap mengambil alih pulau-pulau cengkeh dan pala.

Di Semenanjung Melayu, Portugis dengan gigih mempertahankan Malaka selama lebih dari satu abad, tetapi kebangkitan kekuatan Belanda menandakan akhirnya. Belanda membentuk aliansi dengan kekuatan Melayu yang memusuhi Portugis, terutama Kesultanan Johor, penerus sultan Malaka yang lama. Sebuah aliansi Belanda-Johor menyerang Malaka Portugis pada tahun 1606, dipimpin oleh Laksamana Cornelis Matelieff de Jonge. Meskipun pengepungan itu gagal, itu melemahkan pertahanan Malaka.

Akhirnya, pada tahun 1641, kekuatan gabungan Belanda-Johor mengepung Malaka lagi, dan kali ini kota itu jatuh setelah berbulan-bulan pertempuran. Malaka Portugis menyerah pada 14 Januari 1641, menandai benteng terakhir kekuatan Portugis di wilayah Indonesia dihancurkan oleh gabungan kekuatan lokal dan Belanda. Ini adalah momen penting: dengan jatuhnya Malaka, Portugis secara efektif kehilangan kehadiran kolonial mereka di Indonesia (dan memang sebagian besar Asia Tenggara), kecuali pos terpencil mereka di Timor.

Inggris, yang juga memasuki Nusantara sekitar tahun 1600, memainkan peran militer yang lebih terbatas. Perusahaan Hindia Timur Inggris mendirikan pabrik di Banten (Jawa Barat) dan sempat bekerja sama dengan Belanda melawan Portugis. Namun, persaingan Anglo-Belanda segera berkembang; setelah perlakuan keras VOC terhadap pedagang Inggris di Timur (Amboyna, 1623), Inggris menarik diri dari persaingan rempah-rempah, fokus pada India sebagai gantinya.

Dengan demikian, pada pertengahan abad ke-17, VOC berkuasa di Kepulauan Indonesia, dan pengaruh politik-militer Portugis telah surut ke beberapa tempat yang terisolasi. Era Portugis di Indonesia pada dasarnya berakhir dalam darah dan api, dikalahkan oleh perlawanan pribumi dan dilampaui oleh kekuatan imperial Belanda.

Dampak Ekonomi dan Perdagangan

Ambisi Monopoli dan Perdagangan Rempah

Portugis memasuki Indonesia terutama untuk mengejar rempah-rempahnya yang legendaris: cengkeh, pala, dan bunga pala, yang sangat diminati di Eropa. Mendapatkan kontrol atas perdagangan rempah-rempah adalah tujuan sentral Portugis. Pada awal abad ke-16, mereka berhasil mengalihkan sebagian besar aliran rempah-rempah ke tangan mereka.

Dengan menaklukkan Malaka dan kemudian mendirikan diri mereka di Kepulauan Rempah, Portugis untuk sementara waktu memonopoli ekspor rempah-rempah ke Eropa. Mereka mengirim cengkeh dari Ternate dan Tidore, dan pala serta bunga pala dari Kepulauan Banda. Kontrol ini memungkinkan Portugal untuk sebagian besar mendominasi pasar rempah-rempah Eropa pada tahun 1500-an, memecahkan monopoli Venesia-Kairo.

Namun, dominasi mereka di Asia sendiri selalu goyah dan berumur pendek. Tidak seperti kekuatan kolonial yang datang kemudian, Portugis tidak menaklukkan wilayah yang luas untuk menegakkan monopoli mereka. Sebaliknya, mereka mencoba mengendalikan node dan chokepoint kunci. Misalnya, dengan memegang Malaka, mereka mengendalikan gerbang maritim utama, dan dengan membentengi Ternate, Ambon, dan Solor, mereka menempatkan diri di lokasi produksi atau transit penting.

Mereka kemudian mencoba memaksa produsen dan pedagang lokal untuk berdagang secara eksklusif dengan agen Portugis dengan harga tetap. Dalam praktiknya, ini berarti kebijakan ekonomi koersif terhadap petani rempah dan pedagang lokal. Komandan Portugis di Maluku memaksakan perjanjian pada sultan-sultan rempah: pada tahun 1522, mereka memaksa Sultan Ternate untuk menjual semua cengkeh kepada mahkota Portugis dengan harga yang ditetapkan oleh Portugis. Beberapa tahun kemudian, rival mereka Sultan Tidore juga dipaksa menandatangani perjanjian serupa untuk mengirimkan jumlah rempah-rempah tahunan yang tetap kepada Portugis.

Upaya monopoli seperti ini merusak ekonomi lokal, karena rempah-rempah telah lama menjadi sumber kekayaan utama bagi kesultanan-kesultanan ini. Pedagang Asia tradisional (Jawa, Melayu, Arab, Gujarat) yang biasa membeli rempah-rempah dengan bebas sekarang menemukan Portugis membatasi akses atau menaikkan harga. Ini menyebabkan banyak pedagang lokal menghindari Portugis.

Misalnya, ketika pejabat Portugis mencoba menguasai pasar cengkeh di Ternate, banyak orang Ternate secara diam-diam menjual cengkeh kepada pedagang Asia atau kepada rival Spanyol untuk harga yang lebih baik. Catatan Portugis mengeluhkan "perdagangan gelap" yang berlanjut meskipun ada benteng mereka. Sistem monopoli mahkota juga menyebabkan gesekan dengan petani lokal: harga rendah yang dibayarkan oleh Portugis berarti pendapatan berkurang bagi petani rempah dan bangsawan.

Seiring waktu, ini mengikis itikad baik sekutu mereka yang pernah ada, berkontribusi pada peristiwa seperti pemberontakan Ternate, di mana keluhan ekonomi bercampur dengan keluhan agama dan politik.

Dampak pada Jaringan Perdagangan Lokal

Munculnya kekuatan Portugis mengganggu jaringan perdagangan yang sudah mapan di Kepulauan Indonesia. Sebelum tahun 1511, Malaka adalah pelabuhan bebas di mana pedagang dari seluruh Asia berkumpul. Penyitaan Portugis dan patroli bersenjata mereka di Selat mengubah itu. Banyak pedagang Muslim dan Asia mulai menghindari Malaka, sebagai gantinya mengembangkan pelabuhan alternatif di luar kontrol Portugis.

Kesultanan Aceh di Sumatra mendapat manfaat dari pergeseran ini: pada pertengahan 1500-an, Aceh menjadi pusat komersial yang berkembang (memperdagangkan lada dan juga berfungsi sebagai outlet untuk rempah-rempah) karena pedagang Muslim memilih Aceh daripada Malaka Portugis. Demikian pula, Kesultanan Johor (didirikan oleh sultan Malaka yang diasingkan) bersekutu dengan pelabuhan-pelabuhan Melayu lainnya untuk melanjutkan perdagangan sambil menentang Portugis.

Di Indonesia timur, pulau Bacan dan kota Makassar muncul sebagai pasar terbuka di mana pedagang dapat membeli cengkeh atau rempah-rempah lainnya di luar jangkauan Portugis. Makassar di Sulawesi Selatan khususnya naik menjadi menonjol pada awal abad ke-17 sebagai pelabuhan bebas yang menyambut semua pedagang, termasuk pedagang Portugis yang telah diusir dari Maluku.

Seorang sarjana mencatat bahwa kemakmuran Makassar bergantung pada menjadi pelabuhan rempah-rempah yang terbuka untuk semua pendatang, pada saat VOC menggunakan segala cara untuk menegaskan monopoli. Dengan demikian, ironisnya, upaya monopoli Portugis sering memacu pertumbuhan jaringan perdagangan yang kompetitif. Efek keseluruhan adalah "disorganisasi jaringan perdagangan", karena rute tradisional terbalik. Rempah-rempah masih mengalir, tetapi melalui jalur yang lebih memutar atau melalui penyelundupan dan pembajakan.

Pada saat yang sama, Portugis memang mengintegrasikan perdagangan Nusantara dengan jaringan global. Mereka membawa barang-barang yang sebelumnya relatif langka: tekstil Eropa dan India, senjata api, dan barang-barang mewah. Mereka juga memperkenalkan tanaman Amerika melalui perdagangan global Iberia (misalnya, jagung, ubi jalar, kacang tanah, dan cabai diperkenalkan ke Indonesia pada abad ke-16, sebagian besar melalui kontak Portugis dan Spanyol). Cabai, yang sekarang menjadi pusat masakan Indonesia, kemungkinan dibawa oleh Portugis.

Ekonomi lokal menyesuaikan dengan produk dan permintaan baru: rempah-rempah Indonesia ditukar dengan kapas India dan sutra Cina, sekarang dibawa di kapal Portugis. Beberapa pedagang lokal berkolaborasi dan makmur sebagai perantara. Misalnya, pedagang Melayu dan Cina di Malaka Portugis bekerja dengan Portugis, membantu memperoleh rempah-rempah dari sumber Indonesia dan mendistribusikan impor Portugis.

Sebuah komunitas pedagang hibrida Afro-Asia (termasuk orang India, populasi campuran "Melayu-Portugis", dll.) berkembang di bawah patronase Portugis di Malaka dan menyebar ke pelabuhan-pelabuhan seperti Ambon dan Makassar. Hubungan kolaboratif ini mengurangi tujuan monopolistik. Dalam banyak kasus, Portugis hanya menjadi pemain lain dalam sistem perdagangan yang ada, meskipun bersenjata lengkap.

Kompetisi dan Penurunan dalam Perdagangan

Dominasi Portugis dalam perdagangan rempah-rempah memuncak pada pertengahan abad ke-16 dan kemudian memudar. Pada akhir tahun 1500-an, pedagang Asia dan Timur Tengah menemukan cara untuk melewati cengkeraman Portugis. Masuknya Belanda dan Inggris sekitar tahun 1600 kemudian memberikan pukulan menentukan pada posisi perdagangan Portugal.

VOC Belanda, didukung oleh modal yang jauh lebih besar, mulai menangkap sumber rempah-rempah dan menerapkan monopoli yang bahkan lebih ketat (mencabut pohon rempah-rempah di beberapa tempat untuk mengendalikan pasokan). Dengan mengusir Portugis dari sebagian besar Maluku pada tahun 1605, VOC secara efektif mengakhiri upaya monopoli Portugis di sumbernya.

Seorang pengamat kontemporer mencatat bahwa Belanda dapat melewati rute lama yang diandalkan Portugis, langsung berlayar ke Indonesia melalui Tanjung Harapan dan dengan demikian memotong banyak pelabuhan perantara. Ini membuat Malaka Portugis semakin terisolasi secara ekonomi. Setelah penaklukan Belanda atas Malaka pada tahun 1641, Portugis hampir sepenuhnya dikeluarkan dari perdagangan rempah-rempah.

Dalam gambaran besar ekonomi, era Portugis transformatif tetapi singkat. Ia mengalihkan perdagangan rempah-rempah dari jalur darat Asia ke jalur maritim global di sekitar Afrika. Ia juga memperkenalkan konsep baru kontrol eksklusif atas komoditas dalam konteks Indonesia, membuka jalan bagi monopoli yang dijalankan negara VOC.

Secara lokal, beberapa daerah menderita: kesultanan rempah-rempah Maluku kehilangan kemakmuran perdagangan tradisional mereka di bawah monopoli; pedagang Jawa dan Melayu menghadapi gangguan sampai mereka beradaptasi. Daerah lain mendapat keuntungan: pelabuhan seperti Aceh dan Makassar berkembang sebagai alternatif untuk pasar yang dikendalikan Portugis.

Pada tahun 1650, pusat gravitasi ekonomi di Nusantara telah bergeser. Belanda di Batavia (Jawa) mengendalikan rempah-rempah, dan Portugis sebagian besar terbatas pada pinggiran timur (memperdagangkan kayu cendana dan lilin dari Timor). Warisan Portugis dalam perdagangan akan bertahan dalam beberapa ceruk. Misalnya, pedagang Portugis melanjutkan perdagangan kayu cendana yang ramai dari Timor dan perdagangan kuda dari Sumba hingga abad ke-17, sering kali menentang edik Belanda.

Tetapi rancangan besar mereka untuk menjadikan Hindia Timur sebagai kekaisaran komersial Portugis telah definitif gagal, menyerah pada supremasi Belanda.

Pengaruh Agama dan Budaya

Penyebaran Katolik

Selain perdagangan, Portugis didorong oleh semangat religius yang kuat untuk menyebarkan agama Kristen. Misionaris, awalnya Fransiskan dan Dominikan, kemudian Yesuit, hampir menemani setiap ekspedisi Portugis. Kontak berkelanjutan pertama Kepulauan Indonesia dengan Kekristenan Eropa dimulai pada abad ke-16 di bawah naungan Portugis.

Setelah penaklukan Malaka, sebuah komunitas Katolik (terdiri dari petobat lokal dan pemukim Portugis) berakar di sana, dan Malaka menjadi basis untuk penjangkauan misionaris lebih jauh ke timur. Salah satu misionaris perintis adalah Santo Fransiskus Xaverius, Yesuit yang melakukan perjalanan melalui Maluku pada tahun 1546-1547.

Fransiskus Xaverius melaporkan membaptis ribuan orang di pulau-pulau Ambon dan Morotai, dan ia mendirikan komunitas Kristen kecil di antara populasi Ternate dan Halmahera. Ini adalah penanaman Kekristenan pertama yang signifikan di Indonesia. Puncak aktivitas misionaris Portugis datang pada akhir 1500-an: pada saat itu, banyak desa di Ambon, Maluku selatan, dan Flores/Timor telah memeluk Katolik.

Para Dominikan di Solor, misalnya, tidak hanya membangun benteng tetapi juga seminari yang pada tahun 1600 memiliki 50 anak laki-laki lokal dalam pelatihan untuk imamat, upaya awal untuk membentuk klerus pribumi.

Gereja, Sekolah, dan Misi

Di mana pun Portugis menetap, mereka mendirikan gereja dan kadang-kadang sekolah. Di Ternate, sebuah gereja dibangun di dekat istana kerajaan (meskipun kemudian dihancurkan dalam konflik). Di Ambon, Portugis mendirikan gereja Nossa Senhora da Anunciada pada tahun 1570-an dan sebuah perguruan tinggi kecil untuk mendidik pemuda mestizo (campuran Portugis-Indonesia).

Di Solor dan Flores, para frater Dominikan secara aktif mengonversi suku-suku lokal, menerjemahkan doa-doa Katolik ke dalam bahasa lokal dan mengajar membaca kepada beberapa petobat. Timor melihat munculnya petobat pangeran: beberapa raja Timor dibaptis, mengambil nama Portugis dan memupuk iman baru di kerajaan mereka.

Para misionaris sering campur tangan untuk meningkatkan kondisi sosial seperti yang mereka lihat, misalnya, mendorong penghentian poligami atau ritual lokal tertentu, dan memperkenalkan pernikahan dan catatan baptisan Kristen. Di daerah-daerah di bawah kendali Portugis yang kuat (seperti Solor dan kemudian Timor Timur), masyarakat mulai berkiblat pada festival dan sakramen Katolik.

Portugis juga membawa budaya material yang memfasilitasi ibadah dan pendidikan: lonceng gereja, gambar (patung orang-orang kudus, dll.), dan aksara Latin untuk menulis. Seiring waktu, sebagian dari penduduk pribumi menjadi teguh Katolik, membentuk kelompok berbeda yang sering selaras dengan Portugis.

Percampuran Budaya dan Bahasa

Warisan budaya utama Portugis di Indonesia adalah linguistik. Bahasa Portugis (atau lebih tepatnya, kreol Portugis) menjadi lingua franca di banyak pelabuhan. Tercatat bahwa "bersama Melayu, Portugis adalah lingua franca untuk perdagangan di seluruh Nusantara dari abad keenam belas hingga awal abad kesembilan belas."

Karena Portugis adalah orang Barat pertama di wilayah tersebut, banyak kata-kata mereka diadopsi ke dalam bahasa lokal, terutama untuk konsep atau barang baru. Kosakata Melayu/Indonesia hingga hari ini mengandung jejak Portugis yang kuat. Kata-kata Indonesia umum seperti gereja (dari Portugis igreja), meja (mesa), bangku (banco), keju (queijo), mentega (manteiga), sepatu (sapato), jendela (janela), bendera (bandeira), sekolah (dari escola), pesta (festa), dan bahkan nama untuk orang Belanda (Belanda, dari Portugis Holanda) semuanya berasal dari Portugis.

Kata-kata pinjaman ini masuk ke dalam bahasa Melayu selama abad ke-16 hingga ke-17 dan menyebar ke seluruh Nusantara, bertahan bahkan setelah Portugis pergi. Mereka mencerminkan barang, ide, dan institusi yang diperkenalkan Portugis: misalnya, sekolah untuk "sekolah" menunjukkan Portugis mendirikan beberapa bentuk sekolah; gereja untuk "gereja" dan istilah seperti pastor, baptis, dll., menunjukkan pengaruh agama; kata-kata untuk alat, makanan, dan alat musik (misalnya biola untuk "biola") menunjukkan pertukaran budaya.

Komunitas Kreol Portugis muncul terutama di daerah-daerah di mana pria Portugis mengambil istri lokal dan menetap. Di Malaka, komunitas Eurasia yang disebut Kristang terbentuk, berbicara kreol campuran Portugis dan Melayu. Ketika Belanda kemudian mengusir Portugis, banyak dari orang-orang Kristang ini pindah ke Jawa (membentuk komunitas Mardijker di Batavia) atau ke pulau-pulau seperti Ambon dan Flores yang tetap Katolik.

Komunitas Kampung Tugu dekat Batavia, misalnya, adalah pemukiman budak Portugis yang dimerdekakan dan keturunan mereka, yang melestarikan bahasa berbasis Portugis dan iman Katolik hingga abad ke-18. Di Larantuka, Flores, budaya Indo-Portugis yang berbeda muncul yang bertahan selama berabad-abad. Komunitas Larantuka mengembangkan ritualnya sendiri seperti prosesi Minggu Suci yang menghormati Tuan Ma (Perawan Maria) dalam perpaduan praktik devosional Portugis dan lokal, yang berlanjut hingga hari ini.

Perubahan Sosial

Kehadiran Portugis juga secara halus mengubah struktur sosial lokal. Di Maluku, populasi mulai terbagi sepanjang garis agama: komunitas yang beralih ke Katolik sering bersekutu dengan Portugis, sementara yang lain tetap selaras dengan Islam atau kepercayaan pribumi dan menentang perambahan Eropa.

Ini meramalkan perpecahan komunal yang akan bertahan (misalnya, di Pulau Ambon, konfederasi Hatuhaha tetap Muslim dan memusuhi Portugis, sementara banyak desa di Ambon selatan menjadi teguh Kristen dan kemudian bersekutu dengan Belanda melawan Ternate Muslim).

Pengenalan senjata api dan benteng modern oleh Portugis mengubah peperangan dan politik di antara kesultanan rempah-rempah. Misalnya, Ternate dan Tidore memperoleh meriam dan arquebus melalui Portugis dan Spanyol, yang membuat perang lokal mereka lebih intens.

Di bagian-bagian Indonesia timur, Portugis dan keturunan mestizo mereka menjadi kelas elit baru. Di Timor, keluarga campuran Portugis-Timor (disebut Topasses atau "Portugis Hitam") datang untuk mendominasi segmen perdagangan kayu cendana dan bahkan menjalankan kekuasaan politik otonom di pedalaman pulau pada abad ke-17, secara efektif menciptakan kelas feodal kreol.

Ketahanan Agama

Salah satu pengaruh budaya Portugis yang paling bertahan adalah identitas Katolik yang persisten di wilayah-wilayah Indonesia tertentu. Bahkan setelah Portugis digantikan oleh Belanda yang teguh Protestan, banyak petobat mereka yang dulu secara diam-diam mempertahankan iman lama.

VOC Belanda, yang melihat Katolik sebagai sekutu musuh Spanyol-Portugis mereka, mengusir para imam Katolik dan melarang agama di wilayah VOC sekitar tahun 1605. Gereja-gereja dirobohkan atau diubah menjadi penggunaan Reformed Belanda (gereja utama di Ambon, misalnya, dijadikan gereja Calvinis pada tahun 1605).

Meskipun demikian, komunitas Katolik bawah tanah bertahan. Di Kepulauan Kei dan bagian-bagian Maluku selatan, tradisi lisan menyatakan bahwa penduduk desa mempertahankan praktik Katolik secara rahasia selama beberapa generasi sampai kebebasan beragama kembali pada abad ke-19.

Di Flores, yang sebagian besar tetap di luar kendali penuh VOC, komunitas yang dibaptis terus mempraktikkan iman mereka bahkan tanpa imam selama 200 tahun. Menurut sebuah studi Katolik, "Di pulau-pulau seperti Flores, umat Katolik yang dibaptis terus berdoa dan hidup dalam iman mereka yang diterima dari misionaris Portugis selama 200 tahun, meskipun tidak memiliki imam Katolik", pada dasarnya sebuah gereja bawah tanah yang dipertahankan oleh umat awam.

Persistensi yang luar biasa ini berarti bahwa ketika aturan kolonial Belanda terhadap Katolik mereda pada abad ke-19, masih ada kantong-kantong orang di Indonesia timur yang siap untuk merangkul Gereja Katolik yang didirikan kembali. Jejak budaya Portugal dengan demikian hidup dalam kepatuhan agama, garis keturunan keluarga, dan adat istiadat lokal (misalnya, banyak keluarga di Flores dan Timor masih memiliki nama keluarga Portugis dan merayakan hari raya orang-orang kudus yang diperkenalkan pada abad ke-16 hingga ke-17).

Seni dan Budaya Sehari-hari

Dengan cara yang lebih halus, Portugis mempengaruhi kehidupan budaya Indonesia. Mereka memperkenalkan alat musik dan melodi baru. Gitar dan cavaquinho mirip ukulele dipopulerkan oleh pelaut dan misionaris Portugis. Ini bercampur dengan musik lokal untuk melahirkan genre baru.

Keroncong, gaya balada rakyat Indonesia tradisional yang menampilkan ukulele dan melodi turunan Portugis, secara luas diyakini melacak kembali pengaruh Portugis pada abad ke-16. Selain itu, pengaruh kuliner Portugis dapat dilihat dalam masakan Indonesia: misalnya, penggunaan singkong yang luas (diperkenalkan dari Amerika) dan hidangan seperti semur (stew) dan pastel (pastry) memiliki akar Iberia.

Bahkan pakaian melihat beberapa pengaruh; gaya kebaya bordir renda di Malaka dan Flores dikatakan terinspirasi oleh renda Portugis.

Singkatnya, sementara pemerintahan Portugis di Indonesia relatif singkat, dampak budaya dan religiusnya signifikan. Ia memperkenalkan iman baru yang masih berkembang di bagian-bagian Nusantara, kosakata baru yang digunakan orang Indonesia setiap hari, dan elemen musik, seni, dan masakan yang telah menjadi bagian dari warisan lokal.

Seperti yang dicatat oleh seorang sarjana dengan tepat, kontak Portugis adalah pengaruh Eropa pertama di Indonesia dan "memiliki pengaruh yang tetap ada sampai hari ini, meskipun periode waktu pengaruh itu relatif singkat."

Analisis Komparatif Pengaruh Kolonial Portugis dan Berikutnya

Portugis adalah penjajah Eropa pertama di Indonesia, tetapi mereka akhirnya digantikan oleh Belanda (dan sebentar oleh Inggris). Membandingkan metode dan warisan mereka menyoroti paradigma kolonial yang berbeda.

Pemerintahan dan Kehadiran

Portugis mengelola kepemilikan Asia mereka sebagai jaringan benteng pesisir dan feitorias (pos perdagangan), sering berintegrasi dengan penguasa lokal daripada menaklukkan pedalaman yang luas. Jejak mereka relatif kecil dan cair. Misalnya, Ternate Portugis hanyalah sebuah benteng di bawah bayang-bayang Sultan, dan di Timor mereka mengandalkan aliansi dengan raja-raja lokal.

Sebaliknya, Belanda, terutama setelah abad ke-18, mengembangkan pemerintahan teritorial yang jauh lebih luas. VOC dimulai dengan cara yang sama dengan pelabuhan berbentengan (Batavia, Ambon, dll.), tetapi seiring waktu Belanda memperluas kendali atas Jawa dan seterusnya, menggunakan administrasi birokrasi dan pemerintahan tidak langsung melalui priyayi lokal (bangsawan).

Masyarakat kolonial Belanda lebih berlapis dan terpisah; tatanan sosial rasial yang kaku berkembang dengan elit Belanda di puncak dan orang Indonesia yang diperintah tetapi dikecualikan dari kekuasaan. Inggris di Indonesia hanya memiliki kehadiran signifikan selama interregnum singkat (1811-1816) ketika Sir Stamford Raffles memerintah Jawa. Pemerintahan Inggris terlalu singkat untuk merombak pemerintahan, tetapi Raffles memang memperkenalkan reformasi seperti penghapusan perdagangan budak dan upaya sistem sewa tanah.

Tidak seperti Portugis, Inggris dan Belanda beroperasi dengan birokrasi yang lebih besar dan didukung oleh perusahaan carteran atau aparatus negara, memungkinkan penetrasi kontrol kolonial yang lebih dalam. Singkatnya, pemerintahan Portugis informal dan pesisir, pemerintahan Belanda menjadi formal dan teritorial, sementara pengaruh Inggris di Indonesia sesaat (meskipun Inggris di tempat lain, seperti di Malaya, memiliki gaya pemerintahan tidak langsung mereka sendiri).

Kebijakan Ekonomi

Secara ekonomi, Portugis dan Belanda memiliki pendekatan yang berbeda terhadap perdagangan rempah-rempah. Mahkota Portugis mengejar monopoli kerajaan atas rempah-rempah tetapi kekurangan tenaga kerja dan sumber daya untuk sepenuhnya menegakkannya. Mereka sering harus bekerja dalam jaringan perdagangan Asia yang ada dan bergantung pada perantara lokal. Mereka puas mengenakan pajak perdagangan di pelabuhan seperti Malaka dan mengambil bagian dari keuntungan dengan mengendalikan chokepoint.

Sebaliknya, VOC Belanda tegas dalam menegakkan monopoli di sumbernya: ia merebut kendali pulau-pulau penghasil cengkeh dan pala dan secara ketat membatasi produksi untuk memastikan harga tinggi, menggunakan metode yang jauh lebih sistematis dan sering brutal (mencabut pohon, mendeportasi populasi, dan menempatkan pasukan di pusat produksi). Belanda pada dasarnya mengubah perdagangan rempah-rempah dari perdagangan Asia yang bebas menjadi perusahaan yang dikendalikan korporat.

Dampak ekonomi pada masyarakat pribumi juga berbeda: kebijakan Portugis mengganggu perdagangan tetapi tidak menciptakan tatanan ekonomi baru; kebijakan Belanda (terutama pembelian monopsoni VOC dan pengiriman paksa) merestrukturisasi ekonomi lokal untuk melayani kebutuhan Perusahaan (misalnya, sistem Perkenier perkebunan pala semi-budak di Banda setelah 1621).

Inggris, ketika mereka secara singkat mengendalikan Jawa, memiliki pandangan perdagangan yang lebih liberal yang dipengaruhi oleh ideologi perdagangan bebas (mereka menghapuskan monopoli tertentu), tetapi dalam praktiknya dampak Inggris pada perdagangan Indonesia terbatas karena durasi yang singkat. Pada abad ke-19, Belanda sendiri beralih dari monopoli ke budidaya paksa tanaman ekspor (Sistem Kultuur Paksa), sesuatu di luar jangka waktu kehadiran Portugis.

Kebijakan Agama dan Budaya

Portugis sering digambarkan sebagai "tentara salib" sebanyak pedagang. Mereka secara aktif mempromosikan Katolik, membangun gereja dan membaptis penduduk lokal dengan cepat. Ini membuat agama menjadi landasan hubungan mereka dengan orang Indonesia. Mereka yang beralih (atau berdarah campuran Portugis) diperlakukan sebagai sekutu (sering disebut "Portugis Hitam" atau komunitas mestizo), sementara hubungan dengan negara-negara Muslim yang teguh sering bermusuhan.

Belanda, sebagai Protestan dan tiba di era kemudian, memiliki pendekatan yang sangat berbeda. VOC Belanda tidak memprioritaskan konversi masyarakat pribumi (memang, itu terutama bisnis). Ia hanya mempromosikan Protestantisme di antara orang-orang Katolik yang sebelumnya beralih atau di daerah-daerah tertentu seperti Ambon di mana orang-orang lokal sudah Kristen di bawah Portugis. VOC bahkan melarang misionaris Katolik secara langsung.

Secara umum, Belanda secara religius lebih toleran dalam praktik terhadap Islam (mengizinkan hukum Islam dalam banyak urusan lokal), fokus pada perdagangan bukan jiwa. Inggris tidak terlibat dalam aktivitas misionaris sama sekali selama pemerintahan singkat mereka di Jawa, dan kolonialisme Inggris abad ke-19 kemudian di Malaya juga ditandai oleh pemerintahan tidak langsung tanpa perubahan agama paksa.

Dengan demikian, dalam dampak budaya, Portugis meninggalkan warisan agama yang kuat (komunitas Katolik) sedangkan Belanda sebagian besar memperkuat status quo Islam di sebagian besar wilayah kecuali Indonesia timur (di mana mereka mengubah Katolik yang ada menjadi Protestan).

Secara budaya, Portugis bercampur dan mempengaruhi bahasa dan adat istiadat lokal (seperti dicatat, banyak kata pinjaman Portugis masuk ke dalam bahasa Melayu); pengaruh Belanda pada bahasa Indonesia sebenarnya lebih terbatas pada bidang-bidang tertentu (hukum, teknologi) meskipun kehadiran yang jauh lebih lama, sebagian karena Melayu tetap menjadi lingua franca di bawah pemerintahan Belanda. Dampak linguistik Inggris pada Indonesia dapat diabaikan (meskipun bahasa Inggris akan menjadi penting di era modern, itu terjadi tanpa kolonisasi langsung Inggris atas Indonesia).

Perdagangan vs Teritorial: Jangkauan Geopolitik

Dalam membandingkan warisan, kekaisaran Portugis di Indonesia bersifat maritim dan merkantil. Mereka mengendalikan pelabuhan dan mencari komoditas berharga, tetapi tidak secara mendalam mengubah masyarakat pedalaman. Belanda, terutama pada abad ke-19, menjadi penjajah teritorial, menyatukan hampir seluruh Nusantara di bawah satu koloni (Hindia Timur Belanda).

Ini memiliki efek jangka panjang: batas-batas modern Indonesia sebagian besar sesuai dengan negara kolonial Belanda, bukan upaya Portugis. Portugis, di sisi lain, hanya mempertahankan Timor Timur sebagai koloni terpisah dari wilayah Belanda, itulah sebabnya Timor Timur hari ini adalah negara merdeka dengan warisan Lusofon.

Inggris tidak pernah mendirikan koloni di Indonesia yang tepat (selain pendudukan Jawa sementara dan beberapa pelabuhan seperti Bencoolen), jadi jejak geopolitik mereka pada apa yang menjadi Indonesia minimal. Namun, pengaruh Inggris terlihat di tetangga Indonesia (Malaysia, Singapura, Brunei) dan secara tidak langsung melalui bahasa Inggris global dan jaringan perdagangan.

Warisan yang Bertahan

Warisan Portugis di Indonesia secara tidak proporsional bersifat budaya-religius mengingat pemerintahan singkat mereka. Mereka meninggalkan kata-kata, nama keluarga, musik, dan iman, tetapi pengaruh politik mereka menghilang lebih awal. Warisan Belanda terlihat dalam infrastruktur Indonesia (jalan, kota, perkebunan), sistem administrasi, dan beberapa aspek hukum dan pendidikan, dan tentu saja dalam 300 tahun eksploitasi kolonial yang sangat mempengaruhi masyarakat Indonesia.

Pengaruh Belanda pada bahasa terlihat dalam banyak istilah teknis dan kehadiran kelas terdidik berbahasa Belanda bekas, meskipun Melayu/Indonesia dengan sengaja diadopsi sebagai bahasa nasional pemersatu sebagian dalam penolakan Belanda.

Pengaruh Inggris pada Indonesia halus: dapat dikatakan bahwa beasiswa Inggris (Sir Stamford Raffles menulis History of Java yang penting) dan bahasa Inggris (sebagai lingua franca global) memiliki beberapa dampak, tetapi dalam hal warisan kolonial langsung, Inggris lebih merupakan catatan kaki dalam sejarah Indonesia dibandingkan dengan Portugis dan Belanda.

Singkatnya, pemerintahan Portugis (abad ke-16 hingga ke-17) ditandai oleh semangat religius, perkawinan campur, dan upaya monopoli yang sebagian besar gagal; pemerintahan Belanda (abad ke-17 hingga ke-20) lebih lama, lebih sistematis dan berfokus pada ekstraksi, dengan dampak demografis dan teritorial yang lebih besar; dan keterlibatan Inggris singkat dan transisional.

Setiap kekuatan Eropa memiliki tujuan dan metode yang berbeda: Portugis perpaduan "Alkitab dan rempah-rempah", Belanda keuntungan dan perkebunan, dan Inggris interlude singkat di Indonesia (meskipun di tempat lain mereka adalah kekuatan kolonial utama). Hasilnya adalah bahwa jejak Portugal terlihat dalam budaya Indonesia dan wilayah-wilayah tertentu, sementara Belanda secara fundamental membentuk kembali peta politik dan ekonomi Indonesia.

Kemunduran dan Warisan

Kemunduran Kekuatan Portugis

Beberapa faktor bergabung untuk mempercepat kemunduran pengaruh Portugis di Indonesia pada awal abad ke-17. Alasan utama adalah perluasan militer dan ekonomi yang berlebihan. Portugis adalah negara kecil yang mencoba mengawasi rute perdagangan yang luas dari Brasil hingga Jepang. Pada akhir abad ke-16, sumber daya mereka tegang dan prioritas telah bergeser.

Fokus kerajaan beralih untuk mempertahankan koloni di India, Afrika, dan perdagangan Atlantik yang menguntungkan (gula Brasil, emas Afrika). Ini meninggalkan Estado da Índia dengan lebih sedikit kapal dan tentara untuk dikirim ke Maluku yang jauh. Selain itu, penggabungan mahkota Portugis dan Spanyol pada tahun 1580 melibatkan Portugal dalam perang Spanyol. Tiba-tiba, Portugis mendapati diri mereka musuh Republik Belanda (yang berperang dengan Spanyol).

Belanda, didorong oleh keuntungan dan semangat Protestan, menyerang kepemilikan Asia Portugis tanpa henti. Dari tahun 1602 dan seterusnya, kekuatan angkatan laut VOC yang superior dan organisasi menyebabkan satu kekalahan Portugis demi yang lain: Ambon (1605), Solor (1613), Malaka (1641), dll., seperti yang dibahas sebelumnya.

Perlawanan pribumi semakin melemahkan Portugis: kehilangan Ternate pada tahun 1575 telah memotong jantung perusahaan rempah-rempah mereka. Pada tahun 1607 sekutu terakhir mereka di Maluku, Tidore, terpaksa menerima garnisun Spanyol, dan pada tahun 1663 bahkan Spanyol menarik diri dari Ternate-Tidore di bawah tekanan Belanda, meninggalkan Belanda sepenuhnya dominan di Maluku.

Sementara itu, benteng Portugis Malaka, setelah bertahan hampir 130 tahun pengepungan dan blokade, akhirnya menyerah pada tahun 1641 kepada aliansi Belanda-Johor. Ini lebih dari kerugian lokal. Sejarawan mencatat bahwa jatuhnya Malaka "secara efektif menghancurkan benteng terakhir kekuatan Portugis, mengurangi pengaruh mereka di Nusantara."

Setelah tahun 1641, Kekaisaran Portugis di Hindia Timur dikurangi menjadi beberapa pulau di wilayah Timor yang awalnya diabaikan Belanda.

Bertahan di Timor

Satu daerah di mana Portugis bertahan adalah Nusa Tenggara Timur, khususnya Timor. Portugis telah hadir di Timor sejak tahun 1550-an (berdagang kayu cendana), dan setelah diusir dari Solor pada tahun 1613, mereka menjadikan Lifau (Oecusse) di pantai utara Timor sebagai basis baru mereka.

Sepanjang abad ke-17 dan ke-18, koloni Portugis yang genting di Timor bertahan, sebagian besar terputus dari wilayah Portugis lainnya. Ada bentrokan dengan Belanda di pulau-pulau sekitarnya, tetapi Timor dihargai karena kayu cendananya dan tetap berada di bawah kekuasaan Portugis.

Akhirnya, pada tahun 1859, Portugal dan Belanda menandatangani perjanjian yang secara resmi membagi pulau tersebut. Portugis menerima setengah bagian timur (ditambah kantong Oecusse di barat), sementara Belanda mengambil setengah bagian barat. Dengan demikian, Timor Timur tetap menjadi koloni Portugis hingga tahun 1975, lama setelah Indonesia mencapai kemerdekaan dari Belanda.

Ini menciptakan situasi yang unik: dalam Nusantara Indonesia, satu bagian, Timor Timur, berkembang dengan identitas Lusofon, Katolik yang berbeda dari Indonesia lainnya. Warisan dari ini jelas: Timor Timur (Timor-Leste) hari ini adalah negara merdeka di mana bahasa Portugis adalah co-resmi dan di mana ikatan budaya dengan Portugal (dalam agama, bahasa, dan adat istiadat) tetap kuat.

Warisan di Indonesia Timur

Meskipun Kekaisaran Portugis sebagian besar mundur, mereka meninggalkan warisan manusia dan budaya yang bertahan lama di Indonesia, terutama di timur. Katolik mungkin adalah yang paling signifikan. Komunitas Katolik yang didirikan oleh Portugis bertahan berabad-abad isolasi dan penindasan Belanda.

Ketika kebebasan beragama kembali pada abad ke-19, misionaris menemukan bahwa desa-desa tertentu di Flores, Timor, dan Maluku masih melestarikan doa dan ritual yang diajarkan oleh Portugis lama. Hari ini, wilayah seperti Flores, Timor Timur, bagian-bagian Maluku (misalnya Kepulauan Kei, Maluku Barat Daya), dan Sulawesi Utara (Minahasa) memiliki populasi Katolik yang besar, kelanjutan langsung dari konversi yang dimulai pada abad ke-16 hingga ke-17.

Komunitas-komunitas ini sering memiliki mitos dan tradisi yang terkait kembali ke "orang-orang suci dari Portugal" dan merayakan hari raya orang-orang kudus yang diperkenalkan di era itu. Misalnya, kota Larantuka di Flores mengadakan prosesi Minggu Suci yang rumit dengan patung Perawan Maria dan Yesus, dilokalisasi sebagai "Tuan Ma" dan "Tuan Ana," yang diyakini telah dibawa oleh misionaris Portugis berabad-abad yang lalu.

Di banyak komunitas seperti itu, nama keluarga Portugis umum. Nama seperti da Costa, de Freitas (de Fretes), Gonsalves, Martins, Diaz, dll., telah diturunkan selama beberapa generasi. Bahkan di wilayah Ambon, yang sebagian besar Protestan karena pengaruh Belanda, beberapa keluarga (yang disebut Mardijkers atau budak yang dimerdekakan asal Portugis) menyimpan nama keluarga Portugis dan beberapa adat istiadat Portugis hingga abad ke-18.

Persistensi nama dan identitas ini membuktikan kedalaman percampuran budaya selama periode Portugis.

Bahasa dan Musik

Dampak Portugis pada bahasa Indonesia juga bertahan. Seperti dicatat, sejumlah kata Indonesia sehari-hari berasal dari Portugis. Warisan linguistik ini unik. Sementara Belanda memerintah jauh lebih lama, relatif lebih sedikit kata-kata Belanda yang masuk ke dalam penggunaan umum (banyak kata pinjaman Belanda dalam bahasa Indonesia bersifat teknis atau administratif, bukan kosakata sehari-hari).

Prevalensi istilah Portugis untuk barang-barang umum (jendela, meja, sepatu, roti, dll.) adalah warisan dari interaksi abad ke-16 dan menunjukkan betapa terintegrasi Portugis di pasar dan rumah tangga lokal. Lebih jauh, dialek kreol berbasis Portugis diucapkan di bagian-bagian Indonesia (terutama pada abad ke-17 hingga ke-18) dan mempengaruhi dialek Melayu regional.

Dialek Melayu Ambon dan Melayu Betawi (kreol Jakarta) keduanya memiliki kata pinjaman Portugis dan mungkin pengaruh gramatikal, diwarisi dari era ketika Portugis adalah lingua franca. Tradisi musik Keroncong, sering disebut "musik rakyat Portugis dengan jiwa Indonesia," hidup sebagai genre populer, dengan lagu-lagu seperti "Kroncong Morisko" mereferensikan perpaduan budaya.

Alat musik seperti gitar (gitar) dan biola (biola) menjadi bagian dari ansambel musik Indonesia karena pengaruh Portugis (kata-kata untuk mereka berasal dari Portugis, seperti yang ditunjukkan dalam kamus).

Arsitektur dan Peninggalan Material

Peninggalan fisik era Portugis relatif langka tetapi tidak absen. Reruntuhan benteng Portugis masih dapat ditemukan: dinding yang runtuh dari Benteng Santo Paulo di Ternate, bagian-bagian Benteng Nuestra Señora de Anunciada di Ambon, Benteng Solor (kemudian diperluas oleh Belanda dan diganti nama Fort Henricus), dan fondasi gereja tua di Flores dan Larantuka.

Situs-situs ini telah menjadi bagian dari warisan sejarah lokal. Di beberapa museum Indonesia, seseorang dapat menemukan koin Portugis abad ke-16, senjata (pedang, arquebus), dan artefak lain yang digali dalam penggalian arkeologi, bukti nyata dari kehadiran Eropa awal itu.

Warisan Kolonial Komparatif

Pengaruh Portugis sering digambarkan sebagai "warisan minor" dibandingkan dengan dampak menyeluruh dari pemerintahan Belanda kemudian. Memang benar bahwa kontrol Portugis terbatas dan berakhir lama, mereka tidak membentuk struktur politik atau ekonomi utama dari apa yang menjadi Indonesia.

Namun, warisan mereka mendalam dalam domain tertentu. Secara budaya, mereka berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan Indonesia dengan dunia yang lebih luas: melalui Portugis, rempah-rempah Indonesia mencapai Eropa dalam volume, dan tanaman dan produk Eropa (dari tanaman Dunia Baru hingga mesin cetak) mencapai Indonesia.

Mereka meninggalkan populasi kreol Eurasia (keroncong-serenading, sarung-wearing "Black Portuguese") yang menambah kekayaan keragaman Indonesia. Dan secara signifikan, Portugis, menjadi yang pertama, membuka pintu bagi semua yang mengikuti.

Belanda dan Inggris belajar dari pengalaman Portugis: Belanda, misalnya, menyadari bahwa mereka perlu melewati rute perdagangan yang ada dan menciptakan monopoli yang lebih efisien, yang mereka lakukan dengan sukses besar; Inggris melihat pentingnya mengendalikan chokepoint maritim strategis (karenanya fokus mereka pada Singapura kemudian, daripada menduduki kembali Malaka).

Dalam memori kolektif Indonesia, Belanda diingat sebagai tuan kolonial, tetapi Portugis kadang-kadang muncul dalam cerita rakyat dan legenda (sering disebut Orang Portugis atau di beberapa tempat Orang Castilla). Di Aceh, kronik lama menceritakan pertempuran melawan Ferengi (Franks, berarti Portugis) sebagai bagian bangga dari warisan mereka. Di Ternate dan Ambon, kisah tentang bagaimana pahlawan lokal seperti Babullah atau Kakiali melawan Portugis masih diceritakan, menggarisbawahi bab awal perlawanan terhadap kolonialisme.

Di Indonesia saat ini, warisan Portugis bertahan secara halus: dalam kata pinjaman dan nama; dalam iman Katolik jutaan orang Indonesia; dalam nama tempat (ada Kampung Portugis, "Desa Portugis", di pantai Jawa, seharusnya sisa komunitas abad ke-17); dan bahkan dalam motto nasional Indonesia, "Bhinneka Tunggal Ika" (Berbeda-beda tetapi Tetap Satu), seseorang mungkin mendengar gema komunitas kreol pluralistik yang pertama kali mencampurkan Timur dan Barat.

Sementara Portugis tidak secara politik menyatukan atau mengubah Indonesia, abad aktivitas mereka (1511-1600) dan akibatnya menanam benih perubahan budaya yang melampaui kekaisaran mereka. Seperti yang dicatat satu sumber dengan ringkas: "Portugis adalah orang Eropa pertama yang mendirikan kehadiran kolonial di Kepulauan Indonesia... dan meninggalkan elemen budaya Portugis yang tetap ada di Indonesia modern."

Warisan ini, meskipun sering dibayangi oleh Belanda, adalah bagian yang tak terhapuskan dari mosaik sejarah Indonesia, sebuah kesaksian globalisasi awal Nusantara dan keterkaitan budaya yang abadi.

Kesimpulan

Melihat kembali perjalanan panjang Portugis di Indonesia, kita dapat melihat bahwa meskipun kehadiran mereka relatif singkat dalam skala waktu sejarah, dampaknya sangat mendalam dan bertahan hingga hari ini. Dari penaklukan Malaka pada tahun 1511 hingga kemunduran mereka di abad ke-17, Portugis membuka era baru dalam sejarah Indonesia, sebuah era yang menghubungkan Nusantara dengan ekonomi dan budaya global untuk pertama kalinya.

Warisan mereka terlihat dalam bahasa yang kita gunakan sehari-hari, dalam musik yang kita dengarkan, dalam makanan yang kita makan, dan yang paling penting, dalam iman jutaan orang Indonesia yang menganut Katolik. Mereka adalah jembatan pertama antara Timur dan Barat, antara dunia lama dan dunia baru, antara tradisi lokal dan modernitas global.

Kisah Portugis di Indonesia juga adalah kisah tentang perlawanan dan ketahanan masyarakat lokal. Kemenangan Sultan Babullah atas Portugis di Ternate menunjukkan bahwa meskipun memiliki teknologi dan senjata superior, kekuatan Eropa bisa dikalahkan oleh perlawanan terorganisir rakyat pribumi. Ini adalah pelajaran penting yang bergema sepanjang sejarah kolonial Indonesia.

Hari ini, ketika kita berjalan di jalanan Jakarta dan melihat "gereja" di sudut jalan, ketika kita duduk di "meja" untuk makan "keju" dan "mentega", ketika kita mendengar alunan "biola" dalam lagu "keroncong", kita tanpa sadar merayakan warisan Portugis yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas kita sebagai bangsa Indonesia. Ini adalah bukti bahwa sejarah, tidak peduli seberapa jauh atau singkat, selalu meninggalkan jejak yang bertahan melampaui waktu.