Perang Pandan: Wujud Penghormatan untuk Dewa Indra

4 Nov 2025

Ada satu tradisi unik dari Desa Tenganan yang berada Kabupaten Karangasem, Bali. Perang pandan namanya. 

Perang pandan sendiri merupakan wujud persembahan untuk Dewa Indra. Sebab pada zaman dahulu, Tenganan dipimpin oleh seorang raja bernama Maya Denawa yang  amat kejam, bertindak sesuka hati bahkan menganggap dirinya dewa. 

Selain itu, Maya Denawa juga memerintah untuk menuruti cara sesembahan seperti yang diinginkannya serta melarang rakyat Tenganan menjalankan ritual keagamaan. Karena perilaku Maya Denawa yang bertindak sewenang-wenang, rakyat pun murka, kemudian diutuslah Dewa Indra yaitu dewa perang untuk bertarung melawan Maya Denawa.

Alhasil, perang pandan dilakukan guna memperingati momen peperangan yang dimenangkan oleh Dewa Indra serta untuk mempererat persahabatan antar warga. Menurut informasi, keyakinan beragama di Tenganan berbeda dengan agama Hindu lainnya di Bali sebab tidak mengenal kasta dan meyakini Dewa Indra sebagai dewa perang dan Dewa dari segala dewa.

Dalam pelaksanaanya, perang pandan hanya dilaksanakan satu tahun sekali, setiap bulan kelima atau sasih kalima dalam penanggalan Desa Adat Tenganan. Kemudian digelar selama dua hari berturut-turut, mulai dari pukul 14.00 WITA hingga selesai.

Sebelum perang pandan dimulai, terdapat proses yang harus dilaksanakan terlebih dahulu seperti: mengelilingi desa sebagai wujud permintaan keselamatan kepada sang Dewa. Kemudian dilanjutkan dengan ritual minum tuak bersama dan mengumpulkannya menjadi satu lalu dibuang di samping panggung.

Perang pandan boleh diikuti siapa saja. Tua, muda, penduduk lokal, bahkan warga asing boleh bergabung asal mental sudah siap. Untuk laki-laki yang bertanding mengenakan kamben dan udeng (destar atau ikat kepala) tanpa memakai baju. Sementara perempuan yang hadir menggunakan pakaian khas setempat.

Adapun senjata yang dipakai saat perang pandan adalah daun pandan berduri yang dipotong dengan ukuran yang sama kemudian diikat sehingga berbentuk seperti gada. Selain itu, peserta juga dibekali tameng yang terbuat dari anyaman rotan untuk menghalau sabetan pandan berduri. 

Dua orang yang akan bertarung masing-masing memegang senjata pandan di tangan kanan dan tameng di tangan kiri. Saat aba-aba dimulai tanda perang dimulai, keduanya akan bergumul, berusaha mencambuk pandan ke tubuh lawan hingga menggeret sampai jatuh. Setiap pertarungan berjalan singkat, hanya sekitar 1 menit dan dilakukan bergilir selama 3 jam.

Perang pandan dilakukan hanya berjalan 1 menit, dan dilakukan secara begilir selama 3 jam. selama perang pandan berlangsung akan diiringi musik gamelan seloding. yang hanya boleh dimainkan oleh orang yang disucikan.

Selama perang pandan berlangsung ada musik gamelan seloding yang mengiringinya. Adapun seloding merupakan alat musik dari daerah Tenganan yang hanya boleh dimainkan oleh orang yang disucikan sehingga tidak sembarangan dimainkan dan hanya pada acara tertentu saja. Alat tersebut memiliki pantangan yang tidak boleh dilanggar, yaitu tidak boleh menyentuh tanah.

Saat perang berlangsung pemandangan darah segar yang mengalir dari tubuh para peserta menjadi hal lumrah. Meski begitu, tidak ada dendam dalam ritual ini. Bahkan setelah perang usai mereka bersama-sama membantu satu sama lain untuk mencabuti duri pandan dan mengobatinya menggunakan obat tradisional. 

Setelah itu, dilanjutkan dengan makan bersama dari satu tempat atau wadah. Biasanya berisi nasi dan lauk pauk yang dihidangkan di atas di atas daun pisang yang lebar lalu disantap bersama-sama.