Selat Solo: Steaknya Wong Solo
18 Nov 2025
Ari Rizkiandi
Selain sate buntel, serabi hingga timlo, selat Solo juga menjadi salah satu kuliner asal Solo yang tidak boleh terlewat. Apalagi, satu porsi santapan satu ini sudah bisa membuat perut kenyang.
Untuk mendapatkannya juga bukan hal yang sulit. Mulai dari kaki lima hingga bintang lima bisa dengan mudah dijumpai. Namun, berbeda dengan saat ini, dahulunya selat Solo justru menjadi santapan kaum ningrat keraton Solo dan kaum terdidik.

Dahulu, pada masa kolonial Hindia Belanda, orang-orang Eropa membawa bahan-bahan makanan yang biasa mereka konsumsi. Lalu, ningrat dan kaum terdidik mulai diperkenalkan dengan hidangan tersebut.
Sayangnya, citarasa makanan Eropa masih kurang cocok di lidah mereka. Sultan tidak terbiasa mengonsumsi daging sebagai makanan pokok sehari-hari. Sementara, penjajah tetap ingin menyantap makanan lezat seperti steak dari negara asalnya.
Berangkat dari masalah tersebut, munculah ide untuk mengubah dan memodifikasi bahan makanan agar lebih diterima. Akhirnya, juru masak membuat kudapan yang berisi: sayur-sayuran, karbohidrat, dan daging yang diharapkan cocok dengan lidah sultan dan para petinggi Belanda.

Bila biasanya daging steak di Eropa dihidangkan dalam ukuran besar dan dimasak setengah matang, maka daging yang terdapat di selat Solo dibuat berbeda. Sang koki berinovasi dengan mencincang daging sapi dan mencampurnya dengan tepung roti serta telur, lalu dibentuk lonjong dan dibungkus daun pisang, kemudian dikukus hingga matang. Setelah itu, daging diiris agak tebal dan digoreng dengan sedikit margarin agar lebih gurih. Daging itulah yang disebut dengan nama galantin, yang ada di dalam seporsi selat Solo.
Untuk urusan kuah juga cukup berbeda dengan saus bistik Belanda yang biasanya dibuat dari kaldu dan punya tekstur lebih kental. Kuah selat solo memiliki tekstur encer dan rasanya asam manis.
Kemudian aneka sayuran rebus, seperti: buncis, wortel, kacang polong kentang, serta tomat, timun, hingga daun selada, turut ditambahkan dalam sepiring selat Solo. Tak lupa juga ada sumber protein lainnya dari telur rebus.
Kombinasi antara daging dan sayuran ini membuat selat Solo kaya warna dan menggoda siapapun. Pun termasuk pihak Belanda yang sangat menyukainya.
Namun karena tampilan selat Solo lebih mirip salad, akhirnya kudapan satu ini lebih dikenal dengan salad bukan steak. Adapun bangsa Belanda menyebut salad dengan sebutan slachtje. Kala itu, lidah orang Jawa kesulitan melafalkan slachtje, maka dari itu untuk mempermudah mereka menyebut slachtje dengan sebutan selat.


